Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus 9, 2012

KEJARLAH KEINDAHAN

Kala itu, begitu tebal kabut embun menyelimuti pagi. Sinar mentari yang menghangatkan tiap tubuh manusia dari kebekuan dinginya malam, tak sampai menyentuh hamparan permukaan bumi tempat mereka berpijak. Di atas pepohohanan, depan ndalem Abah Amin, terdengar kicauan burung-burung yang bersahutan dengan suaranya yang nyaring dan merdu, mengalunkan melodi harmoni alam menyambut pagi, mengiringi hembusan angin yang masih begitu segar, menyapa penduduk pedesaan dan perkampungan. Di atas lantai teras ndalem Abah Amin, Fatan, pandangnya menerawang jauh, menerbangkan angan, terduduk menunggu kedatangan beliau. Ia tahu, bahwa beliau belumlah kembali dari Masjid seusai mengimami para jamaah sholat Shubuh. Ruang tamu masih terlihat begitu sepi. Lampu neon 40 watt yang begitu terang memancarkan cahanya ke setiap sudut ruangan, masih belum dinyalakan, untuk sekedar menunggu datangnya matahari bersinar terang menggantikan.

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'

Gambar
Assalaamu'alaikum wr. wb. Bismillaahirrahmaanirrahim Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan segala kenikmatan yang diberikan kepada kita sekalian. Tak lupa shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir jaman. Amien ya rabal alamin. Sepasang Sayap di Punggungmu karya Mangun Kuncoro , sebuah novel yang ditulis oleh penulis yang tengah menjalani perjalanan menempuh/ Tholabal ilmi di pesantren Al Maliki Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawa Timur, yang cukup jauh dari tanah tumpah darahnya yakni Bengkulu Sumatra. Ada semangat yang melatarbelakangi tulisan dijiwai oleh keadaan penulis dalam merantau; mengarungi lautan ilmu di pesantren asuhan Alm. KH. Wahab Chasbullah yang dikenal sebagai bapak pendiri dan penggerak NU.

Kesunyian Yaya’

-Penghujung Juli, 2012-             Ku ayunkan pena ini, demi mengukir peristiwa abadi. Terasa lelah, namun indah. Merintih tak sakit; tertawa tak bangga. Rasaku. Aku bagai meja usang yang siap kau tendang. Melayang berhamburan taktentu, menerawang rasa. Kata orang: ‘ Mencintai itu, menyatukan kedua sisi yang berlawan; memadukan kehendakhati menjadi jalinan yang teramat indah, berwarna.’ -Juli 2011-             Masih ku rekam jelas dalam benakku. Kusimpan indah dalam sudut hatiku yang paling dalam. Kala itu, aku dan selembar kertas membungkus keindahan. Bimbang-bimbang, aku ragu. Memenuhi permintaan sebuah majalah lokalan. “ sebuah guratan pena.” Kata pimpinannya.             “ Ndi, Andi!” itu suara Abah. Pengasuh Pesantren yang kutempati. Abah. Sapaan akrab untuk beliau dari para santri, termasuk aku. Jika Abah telah memanggil begini. Berarti ada pekerjaan yang harus di selesaikan, segera.             Huh, harus ku akhiri rasa yang telah menggebu menyusun kata. Ku