Syair Tombo Ati
Dua Ribu Lima Sebenarnya, sudah sejak subuh menyapa. Aku persiapkan seluruh kelengkapan yang akan ku bawa. Segala keperluan telah selesai aku kemas dalam koper terbesarku. Yah, hijrah. Merantau merajut keindahan abadi. Dalam keabadian hidup sejati. Namun, hati ini belum sepenuhnya. Masih nampak secerca rasa bimbang dalam niat suci. Menghantui setiap tindakan. Resah. Mencoba menebak sesuatu yang akan kudapati. “ Kamu harus mondok nak, supaya hidupmu kelak bisa terarah. Mendo’akan orang tuamu ini. Biarpun bapak tak mengerti banyak tentang tuntunan Agama. Bapak mau kamu jauh lebih baik dari bapak.” Begitu kata yang selalu membayangiku tiga bulan terakhir ini. Bagiku mondok di pesantren sebuah momok yang menakutkan. Kebiasaan bebas yang aku jalani harus terbentur dengan sebuah peraturan yang memenjara; dihadapkan pada sebuah pengenalan huruf Hija...