Kesunyian Yaya’


-Penghujung Juli, 2012-
            Ku ayunkan pena ini, demi mengukir peristiwa abadi. Terasa lelah, namun indah. Merintih tak sakit; tertawa tak bangga. Rasaku. Aku bagai meja usang yang siap kau tendang. Melayang berhamburan taktentu, menerawang rasa. Kata orang: ‘ Mencintai itu, menyatukan kedua sisi yang berlawan; memadukan kehendakhati menjadi jalinan yang teramat indah, berwarna.’
-Juli 2011-
            Masih ku rekam jelas dalam benakku. Kusimpan indah dalam sudut hatiku yang paling dalam. Kala itu, aku dan selembar kertas membungkus keindahan. Bimbang-bimbang, aku ragu. Memenuhi permintaan sebuah majalah lokalan. “ sebuah guratan pena.” Kata pimpinannya.
            “ Ndi, Andi!” itu suara Abah. Pengasuh Pesantren yang kutempati. Abah. Sapaan akrab untuk beliau dari para santri, termasuk aku. Jika Abah telah memanggil begini. Berarti ada pekerjaan yang harus di selesaikan, segera.
            Huh, harus ku akhiri rasa yang telah menggebu menyusun kata. Kuraih Handphone di sampingku. Perlahn aku ketik: ‘ Jika batas waktu, nanti siang jam 12.00 WIB, saya tidak bisa. Untuk edisi bulan depan saja saya ikut ngisi. Maaf ini ada pekerjaan mendadak.’ Lalu ku kirim ke redaksi yang minta goresan pena tadi.
            “ Heh, jangan bengong. Biarkan pimpinan redaksinya yang kecewa. Karena bukan kisah yang akan kukirimkan ke majalah itu yang akan ku tulis. Tapi, inilah kisah yang akan ku tuliskan.”
<a href="signin.php" rel="nofollow">sign in</a>
***
            “ Dalem (ya), Bah.” Teriakku. Sembari lari aku menghampiri abah. Maklum, kamarku ada di lantai dua. Jadi, perlu teriak untuk sekedar menjawab panggilan itu.
            “ Dawoh wonten nopo, Bah ( ada apa, Bah).”
            “ Tadi ada yang telpon. Ada yang mencari Pondok ini. Namanya sapa, Abah lupa. Kamu ke Sekolahan, tanyakan orang yang berasal dari Banyuwangi.”
            “ Iya Bah.”
            Tanpa pikir panjang. Kusabet saja kontak sepeda motor di gantungan biasa. Tak perlu tanya. Aku sudah teramat hafal segala fasilitas di ndalem (rumah) Abah. Sudut- sudutnya pun aku tahu.
            “ Maaf, bapak yang dari Banyuwangi?”
            “ Iya mas, utusannya Gus Fadh ya?”
            “ Ya, mari. Kalau mau lihat Pondok.”
            Seperti biasa, aku pasang wajah paling sopan. Berpura-pura manis: menebar senyum, bertingkah kalem, lembut dan lain-lain; walau sejatinya juga brangasan. Begajulan kayak para preman pasaran.
            Huh, setiap penerimaan santri baru ata tepatnya, musim tahun ajaran baru gini. Aku harus selalu pasang wajah spesial. Bukan maksud apa-apa; hanya ingin memulyakan tamu-tamu saja. Dan jika teman-teman, banyak menhabiskan waktu libur mereka bersama keluarganya di rumah. Berbaur bersama sanak familinya. Mengukir masa libur dengan teman sejawatnya di pantai, air terjun, dan berbagai tempat liburan lainnya.
            Aku harus rela menjadi satpam Pondok. Menghabiskan masa libur sebatang kara di Pesantren. Berteman nyamuk-nyamuk, sunyinya malam. Dan apalah, yang selalu membuat suntuk dan teramat merinding. Dan yang jelas, ada tambahan pekerjaan ketika musim santri baru. Tak apalah, hidup butuh perjuangan. Gelakku pahit.
            Jiwa melayang, membumbung tinggi alam maya pada. Halilitar melolong, mencuat membabibuta. Sesaat roh seakan tercabut, Malaikat Izroil: menghentikan denyut jantung, denyut nadi dan seluruh denyut tanda kehidupan.
            Mentari menyingkap menyambut sejatu hangat pada kehidupan baru. Menyambut pundi takdir baru, yang akan menimbun takdir lama. Oh Tuhan, sesak ini kau buat lagi padaku. Sejuta rasa tak beraturan, membumbungkan kedua bibirku tertarik dua centi. Indah.
            “ Karim, Yaya’. Sini naik.”
            “ Nggak, kita jalan aja ikut masnya.”
            “ Mbak, jauh lho. Mending mbak naik mobil aja, lagian akukan bawa sepeda.” Senyumku. Melihat kedua gadis yang beranjak dewasa itu. Keduannya anggun. Kira-kira umuran belasanlah. Baru masuk tingkat menengah atas soalnya. Gadis yang berparaskan sama: berpakaian, tingkahnya sama persis. Kembar. Pasti penafsiran itu kali pertama melihatnya. Padahal dari keluarga yang berbeda jika ditelusuri.
            “ Dasar santri baru, tingkahnya ada-ada saja.” Fikirku menafikan kemungkinan yang akan terjadi, nantinya.
***
            Rasaku semakin kalud; tak lagi merintih tak sakit. Namun, menahan jerit hati nan duka. Menahan binar mata yang mulai basah oleh peluh. Berontak atas tarian pena yang semakin geram mencabik-cabik relung hati. Satu tahun, aku mencoba menyatukan kedua sisi yang berlawanan. Semakin itu pula aku dibuatnya terpental, atas ketidakpastian.
Di ujung perempatan sana, aku berdiri. Beralaskan sandal japit beda warna dan sepotong baju compang-camping. Aku mulai tengadahkan tangan. Mengobral seluruh do’a, pujian terindah dan segala bentuk kata nelangsa: demi menanti dermawan mengasihiku. Namun, kau tetap terdiam. Menafikan seluruh usaha dan pengorbananku. Dan dinginnya sikapmu, membuatku semakin ciut nyali.
Jika ini memang takdir untukku. Mengapa berat ku terima kenyataan; jika tak ada jalan menujuMu atasnya: bangkitkan aku, atas kepedihan cintaku ini. Jauhkan aku dari derunya kisah tentang kematian; berkabung atas cinta yang sunyi.
-September 2011-
            Hampir tiga bulan aku perhatikan sosok yang aku bilang kembar. Karima yang kemudian mendapat julukan Rima. Hilya dengan sapaan akrab Yaya’. Butuh observasi khusus memang. Untuk sekedar mengetahui mana Rima, mana Yaya’. Bagaimana tidak: kerudung sama, baju sama, selalu keluar bersama. Layaknya kembar.
            Huh, hingga detik ini, aku memendam rasa pada salah satunya. Cinta. Yah, rasa dimana rindu ketika tak melihat bibir tesunggingnya; rasa yang terus membayangi setiap langkah kehidupan. Walau aku tahu wajah yang aku cinta. Namun, aku belum mengerti: Rimakah atau Hilyakah.
            Demi keyakinan rasa ini. Untuk sebuah keagungan kisah cinta abadi. Kembali ku bongkar data santri baru di lokerku. Karena memang aku yang menyimpan seluruh data santri di Pondokku. Aku ingin memastikan, nama atas wajah yang selau bermain di anganku; atas sosok yang selalu membuatku tersenyum manyun sendiri.
            Perlahan kuraih map warna kuning data tahun 2011. Kubuka satu persatu tumpukan formulir di dalamnya. Seketika aku terbelalak melihat foto yang menempel pada salah satu formulir: sosok yang menjadikanku merasakan indahnya hidup. Cepat-cepat aku baca formulir itu. ‘Hilyah Maulidiyah.’
            Mulai hari itu, aku selalu menebar senyum terindah untuk satu di antara Si kembar. Setiap pagi menyapa. Menjadi rutinitasku. Sembari nyapu halaman depan pondok, aku menunggu Yaya’ berangkat sekolah. “ Berangkat Ya’.” Sapaku. Namun, sikap dingin itu tak refleks. Diam. Dan terus berlalu. Senyumku pun tak pernah terbalas.
            Hingga suatu malam,sengaja aku menulis surat untuknya. Karena hanya itu, satu-satunya alat komunikasi. Aku mencurahkan semua rasaku di situ. Menunjukkan betapa besarnya rasa cinta untuknya. Namun sama, ungkapanku itu tak pernah dibalasnya.
            Waktu kian berlalu. Citaku atas Yaya’ semakin tertancap dalam sanubari. Setiap detik, aku mengutarakan itu pada Yaya’. Namun, dia selalu acuh dan membuatku semakin terpontang-panting. Tanpa kejelasan. Segala cara telah aku perbuat. Demi meyakinkan ia atas besarnya rasa ini bersemayam. Tapi, usahaku selulu putus tak bermakna.
            Suatu ketika aku mengirim pesan lewat jejaring sosial yang ia miliki:
            ‘ Ya’ mengertilah rindu ini. Izinkan aku merengkuhmu.’
            ‘ Apaan sih, ngalem.’ Jawabnya
            ‘ Aku mencintaimu Ya’; setulus hati ini.’
            ‘ hmm....’
            Selalu begitu, meninggalkanku berlalu begitu saja. Bahkan hingga detik inipun tak pernah kutemui senyum itu untukku.
                                                                        ***
            Malam ini semakin menusuk. Hembusan angin kepedihan membelai seluruh sendiku. Tanganku terkapar: untuk menuliskan kisah inipun rasannya aku tak sanggup lagi. Perlahan badanku mulai menggigil. Gengaman pena ku tak erat rasannya. Dadaku mulai sesak. Aku pasrah jika Izroil benar-benar mengampiriku malam ini.
            Ku hentikan seluruh rasa. Menanti fajar menggantikan kesunyian malam ini. Malam ini, malam pergantian. Juli-Agustus. Malam dimana Yaya’ genap menyandang usia 17 tahun. Dalam hitungan jari, purnama akan datang pula. Namun, aku takut: sunyinya malam, membawa gumpalan awan hitam. Dan tak akan pernah kutemukan purnama di wajah Yaya’. (Mangun-Kuncoro)
Jombang, Akhir Juli 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'