KEJARLAH KEINDAHAN

Kala itu, begitu tebal kabut embun menyelimuti pagi. Sinar mentari yang menghangatkan tiap tubuh manusia dari kebekuan dinginya malam, tak sampai menyentuh hamparan permukaan bumi tempat mereka berpijak. Di atas pepohohanan, depan ndalem Abah Amin, terdengar kicauan burung-burung yang bersahutan dengan suaranya yang nyaring dan merdu, mengalunkan melodi harmoni alam menyambut pagi, mengiringi hembusan angin yang masih begitu segar, menyapa penduduk pedesaan dan perkampungan.
Di atas lantai teras ndalem Abah Amin, Fatan, pandangnya menerawang jauh, menerbangkan angan, terduduk menunggu kedatangan beliau. Ia tahu, bahwa beliau belumlah kembali dari Masjid seusai mengimami para jamaah sholat Shubuh. Ruang tamu masih terlihat begitu sepi. Lampu neon 40 watt yang begitu terang memancarkan cahanya ke setiap sudut ruangan, masih belum dinyalakan, untuk sekedar menunggu datangnya matahari bersinar terang menggantikan.
<a href="signin.php" rel="nofollow">sign in</a>
Rumah tempat Abah Amin bersama keluarganya memang tergolong biasa dan sangat sederhana. Ada ruang tamu, beberapa kamar; satu untuk beliau dan istrinya, dua untuk kedua anaknya, dan satu lagi untuk para tamu yang datang menginap. Di tengah-tengahnya ruang makan. Dan di belakang sendiri ruang dapur. Biarpun sudah berdiding tembok, kombinasi kayu sebagai perpaduan masih terlihat begitu kentara. Smakin menambah kesederhanaan beliau dalam hidup.
Di rumah itulah biasanya Fatan tiap pagi membuka pintu dan jendelanya. Kotoran-kotoran ia bersihkan dari lantai. Ia tahu tamu Abah Amin tergolong tidak sedikit. Kebersihan harus dijaga untuk memberi rasa nyaman para tamu yang datang. Ia lakukan itu dengan penuh keihklasan demi kenyamanan orang lain. Tak apalah letih sedikit setiap pagi. Apalah krugianya jika dibanding dengan kenyamanan para tamu. 
“Fatan, tamu dalam agama kita diibaratkan seperti raja. Maka harus kita mulyakan”. Begitu pesan beliau padanya kali pertama dia tinggal di pesantren sebagai santridalem. Pesan itu begitu diingatnya betul-betul untuk dipraktikkan dalam sehari-hari. Aturan dalam Islam itulah yang membuat dirinya sangat ikhlas. Dari aturan itu pula, ia paham bahwa agamanya sangat toleran terhadap orang lain. Siapa pun mereka, apabila bertamu di rumah kita, penghormatan harus selalu dijaga biar mereka merasa nyaman.
Selain itu, Fatan juga tahu, bahwa kebersihan adalah sebagaian dari iman. Allah juga memberi pengakuan dalam firmanya, bahwa Dia Maha bersih dan mencintai kebersihan. Sebagai hambaNya yang taat, Fatan mencoba terus mempraktikan prilaku yang diajarkan olehNya dalam Islam. 
Setiap kotoran yang ada dilantai ia sampu bersih. Asbak yang penuh dengan puntung rokok dan abunya ia buang ke tempat sampah yang disediakan di halaman belakang rumah. Apabila tempat sampah itu menumpuk, ia membakarnya. Sisa pembakaran itu dikumpulkanya unntuk dijadikan pupuk. Di halam depan rumah Abah Amin memang banyak bertumbuh hiasan-hiasan bunga. Ada yang di pot, ada yang langsung ditanam di tanah.
Selesai membersihkan ndalem, ia lanjutkan menyapu halaman depannya lalu menyirami pohon dan bunga-bunga disekitarnya. Ia lakukan itu agar tanaman mendapatkan air untuk tumbuh. Selai itu akan menambah keindahanya ketika dipandang oleh kita. Karena tanaman yang sering disirami air, akan tampak selalu segar.
“Ibarat tanaman, hati kita akan terus segar jika disirami oleh air kesejukan dari pesan Al Qur’an dan Sabda-sabda Nabi.” Begitu pesan beliau pada suatu pengajian rutin di pesantren. Ia pahami betul-betul apa yang diucapkan sang Kiai kepadanya dan santri-santri lainya. Bukan hanya untuk sebagai bahan pengetahuan otak, tapi pesan itu terus ia coba praktikkan. Setiap orang bisa mengetahui tentang Islam, tapi belum tentu mereka praktikkan. Praktik sungguh sangat sulit dari pada sekedar mencari pengetahuan.
Tapi, tidak untuk pagi ini. Fatan pagi-pagi setelah sholat Shubuh langsung berkemas-kemas. Barang yang akan dibawanya dipersiapkan semua. Selesai berkemas-kemas, fatan langsung menuju Ndalem Abah Amin. Sesampai di depan Ndalem, ia melihat masih sepi. Ia pun duduk dilantai menunggu kedatangan Abah Amin. Walaupun ia tahu, sebenarnya Umi Khafsoh, istri Abah Amin, ada di ndalem.
Pagi itu ia tahu, bahwa Istri beliau berjama’ah Shubuh di Musholla belakang bersama santri-santri putri. Biasanya Umi Khafsoh berjama’ah di Masjid. Tapi entah, ketika itu ia melihat berjamaah di Mushola belakang. Santri seniorlah yang biasa mengimami Sholat Shubuh secara bergantian dengan jadwalnya masing-masing. Ini dimaksudkan oleh Kiai agar mereka terbiasa sewaktu telah pulang ke rumah masing-masing. “Santri harus siap apabila masyarakat membutuhkan kita. Paling tidak kita siap apabila dituntut untuk menjadi imam sholat.” Begitu pesan Abah Amin pada suatu pengajia rutinnya. Meski begitu, aku tetap harus menunggu Abah.
Niatku kini sudah bulat untuk meninggalkan pondok pesantren. Aku tak peduli, walau nanati Abah Amin melarangku. Semuanya sudah kupersiapkan dengan penuh pertimbangan yang masak. Ini pilihanku. Aku sadar pilihan ini ada resikonya. Biarlah resiko itu kutanggung sendiri. Karena setiap manusia punya pilihan masing-masing dan harus bertanggung jawab pada pilihanya tersebut. Kita bebas bebuat sekehendak hati, tapi ingat bahwa kehendak kita harus kita tanggungjawabi. Apabila kehendak kita melanggar aturan, maka kita harus siap dihukum. Begitu piker Fatan.
Tak lama kemudian, Abah Amin datang. Aku pun langsung berdiri menyambutnya dengan ucapan salam. Lalu kucium tangan beliau, sebagai penghormatan beliau orang yang lebih berpengatahuan agama dan mau mengajarkanya pada orang lain sebagai pengabdian. Belum juga kulepas tanganya dari tanganku, beliau sudah bertanya.
“Fatan, apa kamu nggak sholat?”.
“Sudah, Bah. Tadi di kamar, sholat sendiri.”
“Tidak ikut berjama’ah kenapa, Fatan?”
“Tidak, Bah.”
“Kenapa? Apa kamu ada masalah?”
“Tidak Bah!”
“Terus ini, mengapa tiba-tiba menungguku di teras pagi-pagi buta?”
Mendengar pertanyaan Fatan, hanya bisa terdiam. Harus dimulai dari mana aku meminta izin. Ia bingung. Kebaikannya selama ini begitu membayang dibenaknya. Sampai ia kebingungan untuk izin pergi. Meski entah akan kembali atau tidak. Dengan kepala tertunduk, ia pun memaksa diri untuk menjawabnya. Namun tetap saja, jawaban itu seperti tertahan dikerongkongan. Masih dia tundukan kepala di depan beliau. Fatan merasa tak berani hanya sekedar memandang wajah keteduhan Abah Amin. Pancaran air mukanya yang begitu bersinar, tentu akan membuat setiap orang merasa sungkan bila memandangnya secara langsung.
“Ya sudah! Mari masuk dulu!”
“Maaf, bah! Disini saja Bah, Saya hanya ingin pamit.”
“Pamit? ”
“Iya bah, saya mau pamit !”
“Kamu mau pamit kemana? Kamu nggak betah di sini? ”
“Bukan Bah, bukannya saya tidak betah tinggal disini, Bah. Bukan itu masalahnya.”
Mendengar pertanyaan itu, Fatan kembali terdiam, tertunduk. Ia bingung harus menjawab bagaimana. Ia sendiri belum jelas apa masalah yang dirasakanya sekrang. Ia hanya merasa hatinya menuntunya untuk pergi mencari sesuatu yang tidak ia temukan di pesantren. Sepertinya, ia tinggal dua tahun lebih, rasa hati yang menggelisahkan itu belum terobati.
“Lalu masalah apa ? ” beliau tanya kembali dengan suara yang begitu santun dan penuh penghargaan pada setiap orang lain. Tak pedulia ia santrinya sendiri.
“Maaf bah, saya tak bisa mengatakanya”
Mendengar jawaban itu, Abah Amin pun terdiam. Tak lama kemudian beliau mengatakan.
Hemm.. Abah bisa mengerti. Sedikit banyak Abah telah mengamati keberadaan kamu selama di Pesantren ini, Tan. Memang terkadang hidup yang kita anggap menyenangkan, itu justru berbeda setelah kita alami. Abah bisa mengerti jalan pikiran dan perasaanmu sekarang. Kamu belum bisa menerima semua ini, bukan?. Entah kamu sadari atau tidak, Fatan. Terkadang hidup ini memang tidak adil apabila kita rasakan. Tapi, ketidakadilan itu justru akan membuat kita nyaman jika ketidakadilan yang kita anggap itu kita warnai dengan keindahan. Ada hikmah yang disembunyikan oleh Allah untuk kita pehami. Apabila niatmu sudah bulat, Abah tidak bisa memaksamu untuk tinggal disini. Pergilah, tan. Kejarlah keindahan yang kau cari selama ini. Aku mengizikanmu untuk pergi. Hati-hatilah nanti bila diperjalanan!”
Mendengar itu, Fatan hanya bisa tertunduk diam. Kata-kata yang beliau ucapkan kepadanya, membuatnya tak berkutik. Ia tak mampu menjawab atau sekedar merespon dengan ucapan. Sungguh berwibawa dan dalam pengetahuan beliau, sampai ia tak memahami isi maksud yang diucapkannya pada dirinya. Apa yang dimaksud dengan keindahan, ia tak mengerti. Yang ia tahu, hatinya menuntutnya untuk pergi mencari sesuatu yang bisa memberi kepuasan batin. Ia benar-benar bingung atas penyataan Abah Amin itu. Yang jelas ia telah diberi izin. Untuk inilah ia menunggu beliau. Karena itu, ia langsung pamit untuk pergi.
“Terima kasih atas izinnya, Bah. Bah, Fatan mohon Ridho dan do’anya.” Ucap Fatan dengan nada lirih. Nada kesedihan ia tahan. Hatinya terasa ingin menangis meninggalkan orang yang begitu baik, santun, dan penuh pengertian.
“Semoga Allah meridhoi kamu, Tan. Abah juga ikhlas engkau pergi. Do’a Abah akan selalu bersamamu. Hanya ingatlah, setelah kamu mendapatkan keindahan pada dirimu, aku berharap padamu untuk kembalilah ke sini. Kau harus kembali, Tan. Itu pesan Abah.”
“Ya Bah, Fatan akan selalu mengungat.”
“Ya sudah, hati-hatilah dijalan!”
Kucium kembali tangan beliau dengan penuh kesedihan yang mengharu. Setelah itu ia langsung pergi.
“Assalamualaikum, Bah”
“Waalikumsalam….”.
Dengan perasaan yang tak menentu, hati merasa ingin menangis, ia langkahkan kakinya berjalan menjauhi Abah Amin yang masih berdiri ditempat. Selamat tinggal, bah. Selamat tinggal kawan-kawan. Rintihnya dalam hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'