DARAH JUANG


12 Mei 2008
            Sebuah pementasan drama musikal teramat indah di gelar. Hasil garapan para sastrawan dan tokoh muda di Indonesia. Pementasan ini memiliki kesan teramat unik. Dimana sang sutradara berusaha menjadikan penonton ikut serta dalam penokohan.
            Pementasan ini sengaja di gelar dengan maksud tertentu. Dimana kekecewaan seluruh pemuda dan sastrawan akan anggapan ketiadaan mereka. Mereka akan membuktikan bahwa mereka juga bisa bersuara, bisa berkarya yang sangat indah, terlebih indah bahkan.
            Layakya drama musikal biasanya. Sutradara mengonsep latar dan seting tempat sedemikian rupa. Hanya saja babak yang di tampilkan di tandai catatan waktu yang akan mengukir sejarah Negara Indonesia.
            Alur luar bisapun di terapkan oleh sutradara, dimana penonton bisa berperan aktif sebagai tokoh. Bukan hanya seperti biasanya, penonton hanya bisa mendongok kagum akan alur indah yang dibuat sutradara. Tapi kali ini penonton akan dibawa adanya dalam cerita. Menagis sedih ketika adegan mengharukan, berteriak bringas saat adegan mencekam, dan lain sebagainya.
            Latar tempat telah siap untuk pementasan. Panggung pementasan telah di sulap sedemikian rupa oleh para perias. Sound system pun telah terpasang dan siap mengiringi di setiap babaknya.
            Nampak  para tokoh sedang asik merias dirinya masing-masing di sebelah selatan panggun pementasan. Sejuta penontonpun telah berkumpul untuk menyaksikan pementasan itu. Terlihat di ujung panggung sutradara telah menganggkat ibu jarinya sebagai tanda pementasan siap dimulai. Di susul ajungan ibu jari para penata suara.  

  • 10.30 -10.45
Satu persatu para tokoh naik keatas pentas. Dengan adegan pembukaan yang di tandai dengan do’a bersama. Kemudian dilanjutkan dengan pengibaran bendera merah putih yang dibawa salah satu tokoh diiringi dengan menyaikan lagu Indonesia Raya.
Para penonton pun ikut serta. Gemuruh lagu Indonesia Raya menyelimuti lokasi pementasan. Langit pun tak mau ketingalan. Perlahan mentari yang beringas menyembunyikan sosoknya dibalik awan memberi keteduhan.
  • 10.45-11.00
Sesaat kemudian, satu persatu tokoh turun meninggalkan pentas. Menyisakankan seorang tokoh berkostum lusuh dengan pita Merah Putih di lengannya. “ tegakkan keadilan di negeri ini. Janganlah kau berlaku tamak”. Pekik tokok itu. Seluruh penonton terkesima, menunduk diam tak berkutat.
Bersaman dengan dentang musik kesedihan. Tokoh itu merangkak dengan sejuta asa terpendam meninggalkan pentas. Sementara penonton memekik haru.
  • 11.00-12.25 - 20.00-23.25
Ini babak terunik dalam sejarah pementasan drama musikal. Babak yang memiliki durasi waktu terpanjang dalam satu latar. Seluruh penonton terdiam tanpa kata untuk menyaksikan babak yang akan menjadi babak paling menajubkan.
Musik mengalun perlahan, tiga tokoh berkostum sama dengan pita Merah Putih mengikat kepala memasuki pentas. Ketiganya beraut bengis penuh kebencian. Mondar mandir dari sudut pentas kekiri dan ke kanan. “ gimapun kita harus brontak, atas perlakuan punggawa negri yang selalu menari di atas tangisan”. Ucap salah satu tokoh mengawali percakapan. “ ya punggawa tengik yang tak beradab”. Potong tokoh satunya membumbui. “ lebih baik kita nyayikan saja, sebuah nyayian pembrontakan ”.
Musik pun semakin mengeras. Ketiga tokoh itu memekik dengan nyanyian pembrontakan atas mereka. Musik jingkrak yang makin bergemuruh, memacu keinginan penonton untuk mengikuti ketiga tokoh itu.
Sesaat kemudian, dua orang tokoh bertubuh kekar dengan senapan-senapanan laras panjang di bahu mereka masuk keatas pentas. Mengamuk memberhentiakan tiga tokoh yang beryanyi. Pelahan musikpun berhenti. Kemarahan muncul pada kedua tokoh dengan senapan-senapanan laras panjang  saat ketiga tokoh itu brontak ketika di larang. Namu dalam hitungan ditik kedua tokoh dengan senapan-senapanan laras panjang itu dapat membekuknya.
“ kau sudah tak berbudi. Kau bisa di hukum atas tindakanmu”. Ucap salah satu tokoh dengan senapan-senapan laras panjang itu. “ kami tak takut”. Jawab bengis ketiganya.
Sementara penonton semakin terbawa. Seluruh penonton memanas dengan mengacungkan jari telunjukan ke arah kedua tokoh dengan senapan-senapanan laras panjang itu. “ lawan saja wahai tiga tokoh”. Pekik keras dari penonton.
Namun sayang, ketiga tokoh berkostum sama dengan pita Merah Putih di kepala itu tak punya kekuatan. Akhirnya ketiga tokoh itu di paksa untuk menyayikan nyayian pemujaan atas punggawa negara.
Musikpun berangsur mengeras. Nyayian pemujaan pun di nyayikan kelima tokoh itu. Sementara penonton hanya diam dan acuh.
Tak lama kemudian, lima orang berkostum berbeda tapi dengan pita sama terikat di kepala masuk keatas pentas. Dengan beralatkan alat pengeras suara, mereka menghentikan nyayian itu dan berhasil membekuk kedua tokoh dengan senapan-senapanan laras panjang. Nyanyian pemujaan atas penggawa negeri pun di hentikan. Penonton serentak sorak kegirangan.
Di gantikannya nyayian pemujaan itu dengan nyayian pembrontakan. Dengan di tandai kepalan tangan kiri sebagai bukti perlawanan. Musikpun bedentam semakin mengeras.
Tak lama kemudian, naiklah seorang tokoh dengan kostum punggawa dengan dua orang pengawal bertubuh kekar dengan senapan-senapanan laras panjang dan satubuah pistol-pistolan mini yang terselip di pinggulnya. “ mau apa kau . mengentikan nyanyian ini dan mengagntikannya dengan nyayian atas pemujaan terhadapmu”. Pekik salah satu tokoh berpita Merah Putih di kepalanya. Sementara musik masih mengalun dengan kerasnya. “ kami takkan berhenti sebelum kau lepas busana punggawa dan pangkat punggawamu”. Sahut tokoh lainnya. Tokoh yang berkostum punggawa itu tak mengeluarkan sepatah katapun.
  • 01.30
Musik pun smakin memanas. Seluruh penonton naik ke atas pentas. Dengan nyayian pembrontakan dan kepalan tangan kirinya. Tokoh berkosyum punggawa itu di paksa mencopot baju punggawanya. Perlahan di copotnya kostum itu seraya berkata “ aku mundur dari jabatanku”.
Dentang musik semakin mengeras. Gemuruh nyayian perjuangan semakin menyelimuti area pementasan itu.
Disini Negeri kami, tempat padi terhampar
Samuderanya.. kaya raya
Negeri kami subur Tuhan….
Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk bebaskan rakyat
Padamu kami berjanji
Padamu kami berbakti (Mangun Kuncoro)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'