Pesisir Barat

Fatan dan laki-laki bertubuh besar kini duduk bersampingan di atas bongkahan batu besar pinggir pantai. Walau mentari sudah ditelan samudera, mega merah tak lagi mengangah, kini sinar rembulan mulai menggantikannya. Di dekat laki-laki itu, Fatan tak lagi menggigil gemetar ketakutan. Sedikit demi sedikit Fatan menetralisir rasa itu. Akhirnya, Fatan merasa nyaman duduk di samping laki-laki bertubuh besar itu, walau sejuta pertanyaan masih bersarang dalam benaknya.
<a href="signin.php" rel="nofollow">sign in</a>Kau mencari keindahan itu Fatan. Tanya lelaki itu tiba-tiba. Bagaimana kau bisa tahu tentang itu?
Aku sudah bilang tadi padamu, aku faham dirimu semua. Mengapa kau masih tanyakan lagi?” Ucap laki-laki besar itu sambil tersenyum menjawab pertanyan Fatan.Aku semakin tidak mengerti akan maksudmu!”Fatan, kau tau rembulan itu. Rembulan itu tidak serta merta indah seperti yang kita lihat sekarang. Rembulan itu butuh proses untuk menjadi indah. Awalnya, rembulan itu hanya tampak sebagian. Orang-orang melihatnya tentu belum begitu terpesona akan keindahanya. Namun, apabila bulan sudah purnama, orang-orang akan terpesona akan keindahan cahaya purnamanya yang terang dan dingin. Orang-orang pasti akan terpukau akan keindahannya rembulan yang telah purnama?”
Mendengar cerita itu, Fatan hanya diam. Fatan merasakan kebingungan yang begitu sangat menggelisahkan. Apa maksud laki-laki itu, Fatan belum mengerti sama sekali. Sementara laki-laki bertubuh besar itu, hanya menyeringai melihat kebingungan yang yang terpancar di wajah Fatan. Sesekali laki-laki itu mengelus bahu Fatan yang kerempeng, dan Fatan sendiri memilih tidak menghindarinya. Belum sempat menemukan jawaban, Fatan kembali disuguhi dengan cerita baru.
Coba lihat tebing pinggir pantai itu, Fatan. Indah bukan? Dulu sebelum kau datang kemari, tebing itu tak seindah sekarang: tebing itu dulu hanya gundukan batu besar yang jelek. Melihatnya, mata pun tak akan terpana dibuatnya. Kini coba kau perhatikan, indah bukan? Posisinya yang menjorok ke pantai membentuk suatu relief  yang indah sekali. Kau mesti tau Fatan, walau tebing itu dulu jelek tapi tebing itu selalu menerima keadaannya. Tebing itu tabah menerima deburan ombak-ombak yang siap mengikis bagian tubuhnya. Coba kau lihat hasil dari ketabahan dan kerelaannya itu, akhirnya kini menjadi begitu sangat elok bukan? Kau harus bisa seperti rembulan dan tebing itu, Fatan?
Mendengar cerita itu, Fatan tetap saja diam tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh laki-laki di sampingnya itu. Fikiran Fatan justru semakin bingung. Ia sama sekali tak mampu mengidentifikasi keadaan yang terjadi disekitarnya. Ia hanya mampu menatap wajah teduh laki-laki bertubuh besar itu dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Melihat itu, laki-laki bertubuh besar hanya tersenyum lirih sambil memandangi lautan yang terlihat berkilauan airnya akibat pancaran sinar rembulan yang menerpanya. “Kau tak perlu bingung Fatan, itu semua gambaran keindahan yang kau cari selama ini. Bulan yang berproses menjadi indah, tebing yang kuat menghadapi deburan ombak, itu semua hanya perumpamaan yang ku berikan padamu. Aku tahu bahwa kau sampai di sini itu berangkat dari ketidakpuasanmu. Kau merasa hidup yang kau alami tidak adil, bukan? Padahal itu prasangkamu yang salah tentang hidupmu sendiri.”Laki-laki itu kembali diam melihat Fatan mulai mengerti apa yang dimaksudkannya. Namun, Fatan tetap saja diam merenunginya. Laki-laki itu meneruskan perkataannya.
”Jika kau mau merenungi kembali lebih dalam hakikat kehidupan yang kau jalani sekarang, ketidakadilan itu sebetulnya tidak ada, Fatan. Semua yang telah diciptaka oleh Allah di dunia ini sudah cukup adil. Coba kau renungi, tidak adilkah rembulan diciptakan dari bulan sabit? Coba kau bayangkan, jika bulan itu muncul dengan purnamanya langsung, berapa lama keindahan yang akan dipancarkannya? Tentu sebentar bukan? Tapi jika rembulan itu berproses dari bulan sabit hingga mencapai purnama, bukankah itu sangat indah sekali. Tinggal kitanya mau menikmati proses atau tidak. Kita jangan mengharapkan sesuatu tanpa ada proses. Allah bukanya tidak mampu, tapi hukum yang telah ditentukanya seperti itu. Allah menciptakan alam raya ini pun ada prosesnya, Fatan. Apakah itu tidak cukup adil, Fatan?Mendengar pertanyaan itu, Fatan tetap diam. Ia kini sedikit mengerti dengan apa yang dimaksud oleh laki-laki tua itu. Dalam diam, laki-laki tua itu lalu melanjutkan perkataannya.
”Satu lagi, Fatan. Sangat adil sekali ketika tebing itu berawal dari gundukan batu yang sangat jelek, karena terjangan ombak lautan, akhirnya tebing itu berubah wujudnya menjadi sangat indah. Andaikan tebing itu sudah berwujud indah seperti sekarang ini,  berapa lama tebing itu mampu menahan abrasi setiap harinya? Namun, ketika tebing itu awalnya dari sebuah gundukan batu jelek, tetapi ia kukuh menahan deburan ombak lautan yang setiap saat menerjangnya, kini kita dapat menyaksikan kekokohannya, bukan? Bukankah itu juga cukup adil, Fatan?” Fatan pun hanya tertunduk mendengarkan semua kata-kata laki-laki disampingnya itu. Melalui ucapan laki-laki itu, Fatan sedikit banyak telah mengerti arti keindahan. Pertanyaan Abah Amin kini mulai terbuka jawabannya. Dalam hati Fatan berucap, apakah ini yang dimaksud dengan keindahan oleh Abah Amin?” belum lama merenung, laki-laki itu kembali berucap.
Aku punya cerita menarik buatmu, Fatan. Mungkin kau belum pernah mendengar cerita ini sebelumnya. Alkisah, pernah ada seorang penyair yang begitu sangat terkenal. Syair-syair yang digubahnya, sanggup dirasakan oleh perasaan orang-orang yang membaca dan mendengarnya. Begitu sangat indah, orang-orang sampai terkagum-kagum dibuatnya. Apa kau ingin tahu, mengapa ia bisa seperti itu, padahal ia tergolong orang yang sangat sulit menerima pelajaran?”
Laki-laki itu terdiam sebentar menunggu jawaban dari mulut Fatan. Tapi Fatan tetap saja diam. Lalu perlahan ia menghela nafas panjang, bersiap melanjutkan ceritanya tersebut.Ia tergolong orang yang sangat bodoh di antara teman-temannya. Meskipun bertahun-tahun ia belajar, tetap saja ia tak bisa menerima pelajaran yang telah diajarkan oleh gurunya. Melihat kebodahannya itu, cemoohan pun berdatangan. Karena tidak tahan, ia memutuskan pergi meninggalkan tempat ia belajar tersebut.Ia frustasi terhadap dirinya. Ia putus asa menjalani proses panjang yang tidak menghasilkan apa-apa. Akhirnya ia pun memutuskan tetap akan pergi entah ke mana. Tapi, kuasa Allah benar-benar ditampakkan kepadanya. Dalam perjalanannya itu, hujan tiba-tiba turun membasahi langkah kakinya. Ia pun berteduh di bawah pohon yang dibawahnya terdapat batu besar. Ia kemudian duduk di atas batu tersebut. Di situlah ia melihat batu menjadi cekung akibat tetesan air hujan menerpanya. Diperhatikannya batu tersebut dengan penuh keputus-asaan yang masih menyelimuti dirinya. Tiba-tiba, dalam hatinya muncul kesadaran yang mengubah jalan hidupnya.
Ia lalu berpikir, Fatan. Batu besar dan keras saja bisa cekung hanya karena tetesan air yang terus menjatuhinya, mengapa manusia tidak bisa? Tentu bisa.’ pikirnya waktu itu. Seketika itu ia pun memutuskan untuk kembali ketempat asal ia belajar. Di tempat itulah ia kembali berproses dengan penuh kesungguhan, tanpa menghiraukan cemoohan orang lain. Lalu apa yang terjadi setelah ia berporses kembali dengan kesungguhan dan keitiqomahan itu? Ia akhirnya mampu mendapatkan keindahan dari dalam dirinya. Orang-orang kemudian mengenalnya sebagai seorang penyair besar. Begitulah ceritanya, Fatan. menarik bukan? Dan aku berharap dirimu mampu mengambil hikmah dari cerita tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'