Syair Tombo Ati

Dua Ribu Lima
            Sebenarnya, sudah sejak subuh menyapa. Aku persiapkan seluruh kelengkapan yang akan ku bawa. Segala keperluan telah selesai aku kemas dalam koper terbesarku. Yah, hijrah. Merantau merajut keindahan abadi. Dalam keabadian hidup sejati.
            Namun, hati ini belum sepenuhnya. Masih nampak secerca rasa bimbang dalam niat suci. Menghantui setiap tindakan. Resah. Mencoba menebak sesuatu yang akan kudapati. “ Kamu harus mondok nak, supaya hidupmu kelak bisa terarah. Mendo’akan orang tuamu ini. Biarpun bapak tak mengerti banyak tentang tuntunan Agama. Bapak mau kamu jauh lebih baik dari bapak.” Begitu kata yang selalu membayangiku tiga bulan terakhir ini. Bagiku mondok di pesantren sebuah momok yang menakutkan. Kebiasaan bebas yang aku jalani harus terbentur dengan sebuah peraturan yang memenjara; dihadapkan pada sebuah pengenalan huruf Hija’iyah yang aku sendiri tak menjamahnya selama ini. Heh, aku selalu beranggapan yang tidak-tidak malah.
            Langit makin nampak jingga. Mengangah semerah bara dalam tungku penghangat ruangan. Mentari juga enggan lagi berkedip. Mengucapkan kata sampai jumpa. Siap kembali ke peraduan. Semuanya telah siap. Tinggal meneguhkan sedikit niat di hati. Gemuruh ombak pantai barat rumahku. Mendendangkan ritme kengerian. Menambah resah sekujur tubuh ini.
            Sedari Magrib tadi, rumahku ramai. Layaknya tasyakuran berangkat haji: sanak famili, tetangga, teman-temanku. Semua mendo’akan kepergianku. Padahal cuma mau berangkat ke pesantren saja. Yah maklumlah masyarakat di tempatku tinggal masih teramat minim tentang agama. Bisa dibilang kaum awam begitu. Aku satu-satunya remaja desa yang akan mondok di pesantren. Belajar sedikit pengetahuan tentang Islam. Jadi semuanya banyak berharap atas kepergianku: membangun desa, membangun umat. Nantinya. Huh, semakin membuatku memikul beban yang teramat dalam.
            Bengkulu utara, 10 Juli 2005. Pukul 22.00 WIB. Aku memulai perjalanan panjang ke negeri seberang. Jawa Timur adalah tempat yang akan mengukir sejarah kehidupan baruku. Bersama niat yang belum begitu tertancap di jiwa; selaras pengharapan para masyarakat tempatku tinggal. Bibir tertatih melafalkan: Bismillahirokhmannirrokhim

Dua Ribu Lima hingga Dua Ribu Dua Belas
            Malam pertama di pesantren, aku tak mampu memejamkan mata. Aku gelisah. Begini rasanya hidup di lingkungan yang baru. Berpisah dengan orang-orang yang aku sayangi.
            Ingin rasanya aku menitihkan air mata malam ini. Berteriak membelah kesunyian malam. Berharap ada yang menghampiriku di malam yang sesunyi ini: berbagi cerita, menumpahkan seluruh keluh. Namun apalah daya. Malam berbalut dengan sunyinya. Rembulan sok jadi raja menggantikan tahta sang mentari. Aku hanya bisa diam, terbenam dengan sunyinya malam yang makin membawaku terbang entah kemana.
            “ Pasai belum tidur?” akupun terkejut mendengarnya. Ku dapati wajah teduh abah pengasuh di selah cahaya rembulan. Tuhan mendengarkan do’aku. Abah datang menghampiriku. Sejenak kami duduk bersampingan.
            “ Kamu gelisah to? Yang sabar, ini cobaan pertamamu. Mungkin kamu belum kerasan.” Abah mencoba menenangkan kegundahan hati ini. Aku memilih untuk tertunduk dalam-dalam.
            “ Seminggu lagi santri-santri sudah pada datang. Kalau mereka sudah datang pasti ramai.” Sejenak kami terdiam. Dengan kasih sayang abah mengusap mata yang makin basah. “ Tak usah nagis. Biarkan yang di rumah. Kamu yang di sini harus tabah. Kalau tidak bisa tidur, ayo ikut abah ke masjid. Kita berdo’a di sana.” Aku pun hanya nurut. Mengikuti derap abah menuju masjid pondok. Mengadukan seluruh kegundahan kepadaNya.
*
            Hari berlalu begitu saja. Berjuta corak dan asal santri berbaur menjadi satu. Semuanya merajut hari di sini. Di pesantren ini. Mereka berproses menuju cita di sini. Gelak tawa, mengisi kekosongan di sini. Terkadang sepenggal kepedihan juga kami rasakan di sini. Berjuta warna menghiasi kekerabatan kami setiap harinya. Indah.
            Kini aku telah pandai menata hati. Menjadi seorang santri bukan lah sosok yang menakutkan seperti yang kukira dahulu; hidup di pesantren juga bukan sesuatu yang amat mengerikan. Justru aku merasa nyaman di sini: berjuta saudara, berjuta cerita. Semuanya kudapatkan di sini. Hidupku lebih terarah di sini. Selalu mendapatkan bimbingan dan wejangan dari abah. Bagai bara tersiram air es. Menyejukan. Setiap kata yang keluar dari bibir abah selaras dengan keluhuran budi beliau.
            “ Santri-santriku. Kalian di sini untuk mencari ilmu. Dalam proses mencari ilmu kita harus merendahkan hati. Namun jangan merendahkan diri, karena itu akan menjadikan kita pesimis. Layaknya hujan yang membasahi bumi. Pasti akan mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Berkumpul kesuatu tempat yaitu laut. Begitulah ibarat orang mencari ilmu. Sepintar apapun kita menguasai ilmu. Kita harus tetap tawadhu’ pada guru, kitab.
            Seperti yang kita tahu. Air hujan akan mengalir bebas menuju lautan. Namun jika tersedia parit atau sungai maka akan lebih cepat sampai ke laut. Begitu peran guru untuk kaum pencari ilmu: sebagai parit untuk menuju ke samudra ilmu. Jadi kalian harus berusaha tawadhu’ dengan guru, kitab dan yang berhubungan dengan pencarian ilmu. Agar kita tidak sia-sia dan dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.”
            Wejangan itu yang selalu ku ingat dalam setiap perbuatanku. Ku fahami dalam tentang makna yang terkandung. Aku ingin ilmuku manfaat. Beguna untuk orang-orang yang ku sayangi; membangun desaku yang semakin hari berantakan kabarnya.
*
            Tujuh tahun sudah aku ditempa di pesantren ini. Beribu cerita mengiringi langkahku menggapai cita. Berjuta wejangan abah terukir indah pada dinding hatiku. Menjadikan setiap langkahku bertabur mutiara indah.
            Hari ini, hari di mana ending dari ceritaku di pesantren. Pendidikan Formalku telah terselesaikan. Hari ini juga awal aku menyandang gelar sarjana. Keluarga besarku hadir bersama kegembiraan ini. Bapak, ibu dan keluarga dua kakakku menambah kesempurnaan.
            Bersama keluargaku. Kami sowan ke ndalem abah. Bermaksud pamit untuk meninggalkan pesantren ini.
            “ Pasai, kau telah menyelesaikan pendidikanmu. Sekarang saatnya kamu mengamalkan apa yang kamu dapat di sini. Berjuanglah demi agamaNya, demi umatNya. Do’a abah selalu menyertaimu Pasai santriku.”
            Rasanya, berat aku meninggalkan seluruh cerita di pesantren ini. Namun semuanya menjadi perjalanan hidup. Aku harus berjuang untuk semuanya. Ku peluk satu persatu sahabat yang tak pernah hilang dalam jiwaku. Buliran air mata haru mengiringi kepergianku. Beribu do’a terpanjat di antara kami.
Dua Ribu Empat Belas
            Tombo Ati
Tombo ati iku limo sak wernane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo Dzikir bengi ingkang suwe
Kaping telu sholat bengi lakonono
Kaping pateh weteng ingkang kudu betah luwe
Kaping limo wong kang sholeh kumpulono
                        Salah sawijine sopo biso ngelakoni
                        Insyaalloh Gusti Alloh nyembadani
                        Bagus temen wong urep gelem ngaji
                        Seng akhire biso mulyo biso aji
                        Rino wengi eleng ingkang moho suci
                        Dino akhire oleh suargo widodari
                        (By: Tombo Ati Fadh)
            Senja masih terlihat muda tatkala mentari bersiap kembali ke peraduan, bersorban langit jingga kemerah-merahan. Adzan ashar telah dikumandangkan sejam yang lalu. Dari ketinggian menara-menara masjid. Memanggil umat. Bus yang ku tumpangi pun melaju pelan. Layaknya siput mabuk, jalan berhenti- jalan berhenti. Jam segini waktunya pulang kerja. Jalan Jombang-Surabaya dipenuhi berbagai macam kendaraan bermesin. Berjubel.
            Sumber Selamat, begitu nama bus yang ku tumpangi menuju bandara Juanda. Seingatku bus ini dulu namanya Sumber Kencono. Karena Sumber Kencono yang terkenal ugal-ugalan dan sering terjadi kecelakaan. Pada akhir 2011, setelah terjadi kecelakaan yang menewaskan kisaran 19 jiwa di daerah Madiun. Menurut berita yang kudengar izin trayeknya dicabut. Kemudian alih nama menjadi Sumber Selamat.
            Aku memilih bus ini karena setahuku ini yang tercepat. Meski dulu terkenal ugal-ugalan. Mau tak mau, malam ini aku harus terbang ke Bengkulu. Karena besok pagi ada pertemuan dewan yang membahas pendidikan di Bengkulu. Haul pertama abah berlangsung semalam. Dengan lantunan do’a-do’a. Rasanya aku belum bisa menerima kepergian orang yang membinaku selama aku di pesantren. Sehingga menjadikanku seperti saat sekarang ini. Tapi semuanya telah digariskan.
            Dua orang pemuda dengan sebuah gitar masuk kedalam bus. Bagai tupai. Satu pemuda dengan rambut gondrong. Satunya berambut pendek tegak. Setelah prolog terlontar. Seorang pemuda mulai memetik dawai gitar. Kemudian keduanya bernyanyi. Tombo ati. Syair yang mencoba didendangkan. Perlahan bibirku mulai mengikuti syair itu. Aku mulai mengingat sesuatu yang indah dalam syair itu. Sebuah ijazah teramat aneh yang diberikan abah ketika masih sugeng.
            “ Pasai. Abah tak dapat memberimu berbagai ilmu, karena abah juga manusia. Amalkan syair tombo ati ini selepas sholat fardhu secara rutin. Pahami apa yang terkandung di dalamnya. Kelak kau akan mengerti.”
            Hem, kini dapat kurasakan. Setelah kepergian abah. Siapa yang tak kenal beliau: abah Amin dengan amalan tomba atinya. Dari masyarakat berbagai kalangan mulai mengamalkannya. Menjadikan penyejuk jiwa setiap kali mendendangkan; menjadikan kelembutan budi bagi orang yang mampu mengamalkan makna yang terkandung.
            “ Permisi pak.”
            Sapaan pemuda itu membuyarkan lamunanku. Sebuah keranjang rotan yang dirangkai apik disodorkan padaku. Buru-buru ku mengambil uang yang berada di kantong jasku. Tak jelas jumlahnya berapa. Yang jelas aku nyaman dengan jasa suaranya.
            “ Matur suwun pak, mugi selamet dumugi tujuan.” Senyum pemuda itu nampak kegirangan. (***)
Jombang, Maret 2012
Teruntuk abah Abdur Rachman Wahid (GusDur) dengan syair Tanpo Watonnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'