QUR’AN UNTUK BUNDA


           Dia bernama Vernita, nita begitulah biasanya teman-temannya memanggilnya. Bidadari kecil nan malang, teramat malang bahkan. Semenjak bidadari kecil itu lahir tak lagi memiliki seorang ayah. Sang ayah meninggalkan dia ketia ia masih dalam kandungan. Ledakan tambang minyak itu merenggut nyawa ayah bidadari kecil itu. Sungguh tak terduga ledakan dasyat di lorong itu menjadikan seorang bidadari kecil rela menjadi yatim. Tapi apa mau dikata, urasan ajal bukan kita yang menentukan melainkan kehendak yang di atas.
            Nita terlahir sempurna. Ia tumbuh menjadi bidadari kecil nan anggun dan cerdas. Tapi sayang duka pun harus ia jumpai lagi. Keadaan ekonomi yang melamah selepas kepergian ayahnya, memaksa sang bunda untuk meninggalkannya, demi kebahagiaan keluargannya kelak. Sang bunda harus memaksakan dirinya berpisah dengan bidadari kecil kesayangannya, dititipkannya bidadari kecil itu pada pondok pesantren. Seberkas cahaya kehidupanpun d titi sang bunda demi menghidupi bidadari kecilnya menuju negeri sebrang.
<a href="signin.php" rel="nofollow">sign in</a>
***
            Kini bidadari kecil itu tumbuh dengan keindahan, kekuatan berfikirnya menyudutkannya dengan sejuta pertanyaan tentang dirinya, keluarganya, terlebih tentang orang tuanya.
            Ketika malam mulai menyapa, ketika aura dingin membalut tubuhnya, ketika suasana sunyi yang selalu menyelimuti pekatnya malam. Ketika semuanya tak lagi membisikkan sebuah arti keindahan. Bidadari kecil itupun merenung tanpa sebab, membiarkan matanya nan sayup basah dengan air mata, membiarkannya mengalir mengukir parit pada pipi tembebnya, mengumpul pada pangkal pipi perlahan menetes bulir-bulir air mata indah, menghujam seluruh tubuhnya, membuat kuyup seluruh kegundahan hati.
            Bidadari kecil itu tak sadar, bahwa kak Riri salah satu pengurus pondok hadir menyaksikan kesedihan yang tengah ia rasakan.
            “ Nita, kamu menagis sayang?”. Sapa lembut kak Riri dari pintu kamar yang tak terbuka lebar.
“ kah Riri, nggak kok, Nita nggak nagis”. Ungkap Nita menyembunyikan kesedihan sembari menahan isak tangisnnya.
” Nita sayang, kakak tau engkau menangis, tanpa kamu tutup-tutupi sekalipun kakak tau, kakak bisa merasakan hal itu. Ada apa Nita menangis, cerita dong sama kakak. Jangan di pendam”. Ucap kak Riri sembari mengelus bahu nita sekedar memberi ketenangan jiwa.
 “ tahukah kakak tentangku, tentang keluargaku?” tanya Nita memelas.
“ ya tentu dong sayang, kakak tahu akan dirimu, bagaiman tidak, sejak kamu kecil sudah di titipkan di sini. Dan kakak sudah menganggapmu sebagai adik sendiri”.
 “ masihkah aku mempunyai orang tua kak?”. Tanya Nita mendesak.
” tentu dong sayang, kamu masih punya bunda, bunda yang selalu merindukanmu, bahkan seluruh fasilitas di pondok ini bundamu yang selalu andil”.
 “ dimana beliau kak?”. Nita kembali mendesak penuh antusias.
 “ ya bila saatnya nanti bunda pasti datang padamu. Kamu belajar yang rajin ya!. Jika bunda sudah bersamu, kamu bisa membuat beliau bangga. Melihat bidadri kecillnya berbalut keindahan”.
***
            Hari demi hari. Bulan berganti bulan. Tahun demi tahun. Bidadari kecil itu menanti sosok bunda bunda yang belum pernah dia ketahui. Sosok teduh seperti yang di ceritakan kak Ririnya. Hingga pada suatu ketika kak Ririnya menyampaikan khabar gembira untuk bidadari kecil itu. Bahwa dua bulan lagi sang bunda akan pulang menjumpai bidadari kecilnya.
            Wajah sedih yang kerap bersemayam pada bidadari kecil itu kini berubah menjadi periang. Hari-harinya dipenuhi sebuah penantian yang nyata. Rindu akan sosok bunda yang tak pernah ia jumpai sebentar lagi akan menyapa kehidupannya.
            “ Nita, apa yang akan kamu hadiahkan untuk bundamu jika beliau sudah datang nanti?”.
 “ ya kak, aku akan memberi bingkisan spesial untuk bunda”. Sembari tersenyum bangga.
” Apa itu Nit? Kakak boleh tahukah?“. tanya kak Riri penasaran.
“ hemm...aku akan tunjukkan setengah dari hafalan Qur’anku kak, pasti bunda bangga mendengarnya”. Ucap Nita penuh harap.
” Owow...kakak setuju. Bundamu pasti bangga memiliki bidadari anggun sepertimu”. Ungkap kak Riri memberi semangat.
***
            Saat itu telah tiba. Saat yang telah lama dinanti bidadari kecil itu. Saat dimana seluruh rasa rindu terobati. Bidadari kecil itu nampak bahagia, terlihat jelas riang di sekujur tubuhnya nan anggun. Kini tak lagi nampak secuil kesedihan yang menyelimuti hatinya. Seluruh kegiatan pun ia hentikan. Ia rela menunggu kedatangan sang bunda, walau itu menjenuhkan tapi ia tetap setia menghitung menit untuk pelukan hangat yang telah lama hilang.
            Kebosanan itu berubah dalam seketika. Harupun menggantikan suasana pondok itu. Kegiatan menunggu berubah menjadi sorakan tangisyang memilukan. Ketika pesawat yang ditumpangi bunda bidadri kecil itu mengalami kecelakaa. Berita mengabarkan tak ada stupun yang terselamatkan dari kecelakaan itu.
            Allahu akbar, bidadari kecil itu tak tahan atas semua ini, hatinya perlahan hancur oleh setiap cobaan yang menimpanya. Berlarilah bidadari kecil itu menuju kamarnya.tanpa sadar di hempaskan tubuhnya pada bantal guling di kamarnya. Isakpun semakin dalam seakan tak ada lagi kedamaian dalm hidup ini.
            “ Nita tabahkan hatimu sayang”.
 “ kak Ri, bunda telah tiada. Kini aku tak punya sapa-sapa lagi”. Pilu pun mengiringi setiap kata yang terucap oleh bidadari kecil itu.
 “ kamu masih punya kakak sayang. Kakak berjanji akan selalu menjagamu”. Ucap kak Riri memberi ketabahan.
” tapi kak, aku berniat memberi hafalanku ini pada bunda. Tapi sekarang bunda telah tiada”.
 “ yakinlah sayang, kamu di beri kesempatan untuk itu”. Sekali lagi kak Riri berusaha menenangkan hati Nita.
 “ kak Riri, aku belum sempat memberi apa-apa pada bunda”.
“ kakak tau itu Nit. Tapi yakinlah, niatmu pasti terdengar dan keinginanmu pasti terkabulkan. Kelak bunda akan mendengarkan sempurnanya hafalan Qur’anmu di Firdaus”.
 “ benarkah kak?”. Kak Riri pun hanya mengangguk sekedar menjawab.
***
            Dua tahun sudah kepergian sang bunda. Kini Vernita telah bangkit. Bidadari kecil itu tak lagi murung, sedih, atau apalah. Perasaan itu telah tergantikan dengan janji Allah seperti yang telah dikabarkan kak Riri. Dari janji itu terukir sebuah motivasi dalam dirinya. Membuat guratan indah dalam dirinya. Untuk membangun setiap kisi-kisi citanya.
            Vernita kini telah mengerti arti sebuah kehidupan. Baginya tiada lagi sebuah kepedihan. Kehidupan ini tidaklah semerta-merta berakhir ketika orang yang ia cintai pergi meninggalkannya. Sementara bahkan untuk selamanya.
            Vernita kini menjadi bidadari remaja nan anggun. Kabar sejuk itu juga yang memacunya untuk mempercepat proses penghafalan Qur’annya. Dalam jangka 14 bulan vernita mampu menghafalkan 15 juz terakhir yang belum ia hafalkan sebelum kebergian sang bunda. Mustahil kelihatannya. Tapi, semangat dan kemauan yang tinggi membuatnya begitu.
            “ Nit kini kamu sudah bisa diandalkan. Hafalanmu sudah kelar diluar tarjet yang kakak berikan”. Ucap kak Riri penuh bangga.
 “ ni smua berkat kakak juga. Makasih ya kak! Trus selanjutnya apa yang harus aku perbuat kak?”.
“ hiduplah bersama Qur’anmu sayang. Keindahan akan terpancar bersamamu. Selain untukmu itu juga meringankanbeban orang tuamu wabil khusus bundamu. Jangan kecil hati sayang. Walaupun kamu belum pernah merasakan indahnya bersama mereka, yakinlah atas janji Allah seperti yang telah kakak ucapkan dulu”
 “ ya kak, Nita faham”.
            Hari-hari vernita kini lebih berarti. Setiap tingkahlakunya mencerminkan ayat suci, bicarannya menggambarkan implementasi dari Al Qur’an. Bersama kak Ririnya. Dia mengamalkan Qur’annya untuk membimbing anak pesantren. Setiap lafal yang di bacanya selalu tertuju untuk ayah, bunda, temen-temen, umat islam terlebih. Jiwa Qur’ani selalu terpancar dari Vernita setiap harinya. Membuat keindahan setiap mata memandang. Memberikan kesejukan setiap kata yang terucap dari dirinya. Mengunci setiap perbuatan buruk yang hendak menjumpainya.(***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'