Kota Para Pelopor


I
            Udara pengap permulaan malam menyelimuti tempat tinggalku, tanah ini telah lama tak diguyur hujan. Ah, mungkin ini pengapnya hawa hujan hendak turun. Di ujung muara sana, geriuh para nelayan berbondong-bondong menepikan perahunya sembari membopong hasil tangkapan ke TPI seberang muara. Aku melihatnya jelas dari jendela lantai dua rumahku. Tepatnya dari arah kamarku yang sengaja ku buat menghadap ke pantai dengan jendela kaca bening berukuran lebar. Jendela itu sengaja ku buat lebar karena aku teramat suka dengan warna jingga langit sore; mengangahnya mentari terbenam dengan burung-burung kecil berterbangan tak tentu: tekadang saling jahil antar sesama, saling cumbu, menyambar ikan-ikan kecil yang lengah di atas perairan. Hem, sama halnya dengan prilaku kebanyakan manusia saat ini: jahil dengan sesamanya, bercumbu tanpa ada ikatan sekalipun dan yang lebih parah lagi begitu tega menyambar saudaranya sendiri;  memuaskan nafsu perut yang tak pernah kenyang atas kenikmatan yang telah terporsi untuknya.
            Lamunanku terbuyarkan oleh derap langkah istriku, ia menghampiriku dengan membawa sesuatu di tangannya. Aku tak terlalu menghiraukan hal itu; masih asyik bermain imaji tentang kehidupan yang teramat membingungkan jika dirasa. Dulu ketika aku masih kecil pantai ini teramat indah dengan ikan yang tak habis dimakan tujuh turunan fikirku. Masa kecilku sering berlayar dengan ayah: mencari ikan dengan jala sederhana namun memuaskan. Tapi sekarang, orang-orang terlalu tamak akan hasil banyak dengan waktu yang singkat. Yah, ujung-ujungnya juga merusak: menggunakan bom untuk menagkap ikan; pukat harimau untuk hasil yang membanggakan.
            “ Mas, ada surat ni. Tapi tak jelas siapa pengirimnya.” Sapaan istriku benar-benar membuat sirna imajiku.
            Akupun meraih amplop coklat dengan stempel pos pojok kanan atas tanpa nama pengirim itu. Di amplop itu hanya tertuliskan ‘untuk santri terbaikku Iman Kuncoro.’
            Aku mulai memahaminya...



II
            Iman Kuncoro santriku,
            Mungkin kau terkejut dan akan merasa bersalah karena abah menyuratimu. Tapi tak apa: abah hanya rindu padamu setelah kepergianmu; rasanya abah terbayang-bayang sosokmu. Yah, mungkin karena kau satu-satunya santri yang selalu  bersama abah di setiap detiknya.
            Oh ya, bagaimana kabar istrimu? Sudah berapa bulan kandungannya?. Man, dijaga istrinya! kandungan pertama itu perlu perhatian khusus. Biasanya kalau istri lagi hamil pertama: manjanya minta ampun, kemana-mana minta ditemani, abah bilang begini karena abah pernah ngalami hal seperti itu Man.
            Iman Kuncoro santriku,
            Abah ingin mengajakmu berpetualang masa lalu; masa dimana menyimpan beribu kisah yang mengukir perjalan kita: membuka lebar lorong waktu sembari mengais kisah duka, suka dan lain sebagainya.
            Awal kau dipasrahkan orang tuamu, kau masih kecil dan lugu. Lebih mengesankan lagi kau tak bisa bahasa Jawa, sehingga menguras fikiran abah untuk menyusun kalimat berbahasa Indonesia yang baik dan benar: walau terkadang tak sesuai dengan kaidah EYD sekalipun.
            Kau masih ingat ketika abah tanya tentang arti nama yang kau miliki, dengan penuh percaya diri kau menuturkan maknanya secara detail kepada abah:
            “ Kata ayahku: Iman itu artinya percaya dan Iman itu kunci kesuksesan mengapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat selain akhlak. Kata ayah, Iman dan akhlak haruslah berjalan berpaduan dalam diri manusia. Ayah sering mengiaskan begini: coba bayangkan jika Iman saja yang tertancap pada diri manusia tanpa didasari akhlak yang kuat, maka keindahan juga takkan menghampiri manusia itu. Kurang tebal apa kadar keimanan para pejabat negara; rata-rata mereka menyandang gelar Haji. Tapi karena akhlak yang tak selaras menjadikannya terlalu tamak akan kebahagian sesaat yang tanpa ia sadari akan menyeretnya ke pintu kehancuran. Begitu pula sebaliknya.  Sementara Kuncoro sendiri maknanya terkenal. Jadi kalau digabungkan berusahalah menjadi orang yang terkenal dengan didasari kadar keimanan yang tak dapat diragukan lagi.”
            Hem, abahpun hanya mampu tersenyum mendengar penuturanmu yang lugu itu. Tapi abah bangga terhadapmu, abah melihat sesuatu yang lain pada dirimu; sesuatu yang mungkin tak dimiki kebanyakan anak seusiamu: kau tangkas, kau memahami segala sesuatu dengan cepat dan yang pastinya kau memiliki tekat yang sangat kuat untuk sebuah ilmu.
            Seperti kala itu, di aula depan Pondok waktu ngaji tombo ati. Abah ngajari kau dan teman-temanmu menyanyi, kau nampak antusias. Yuk kita nyanyikan lagi untuk mengenangnya, kau masih ingatkan sya’irnya:
ALA SANTRI
Gotri ala gotri nogosari
Tiwol owol-owol jenang katol
Dolan awan-awan delok kemanten    
Titenono mbesuk gedhe dadi opo
Podhang bako enak bako sedang
Dengkok eyak-eyok dadi kodok
Santri ala santri kudu ngaji
Janji ora ngaji getun mburi
Sregepono tahajudo saben bengi
Tlatenono besok gedhe bakal dadi
Sabar lan sing lamun apik ati
Santri iku ngono calon kyei.
(By: Tombo Ati Fadh)
Abah kini tak usah lagi menjelaskan makna yang terkandung dalam sya’ir itu, karena kau kini lebih pandai dari abah dalam urusan cita karya sastra. Mungkin kau mampu memaknai satu persatu kata yang menyusun sya’ir itu, jauh lebih indah ketimbang abah dulu.
III
            Malam semakin meninggi, kerlip lampu TPI tak terlihat lagi. Jam segini biasanya aktifitas di TPI sudah tak ada, hanya menyisakan bau amis sisa-sisa pelelangan ikan.
            Pengap masih menyelimuti kota ini, namun aku harus menutup jendela mengarah kepantai kerena istriku tak begitu kuat menahan dinginnya angin pantai. Di luar sana rembulan juga meninggi membuat bayang-bayang gemerlap di permukaan laut nun biru; ombakpun mulai meninggi berproses mengikis karang: membuktikan betapa kekuatan yang dimiliki.
            Akhir-akhir ini istriku begitu manja padaku, bersandar pada bahu tanpa kata, bertindak seolah anak remaja yang sedang memadu kasih. Akupun hanya mendiamkannya; mengelus rambut yang terurai penuh kasih sayang.
            Istriku orang nomor satu bagiku: dialah yang selalu ada disetiap langkahku, menemani hari-hariku penuh kasih sayang, mengingatkanku di kala aku sedang terperosok dalam hal pekerjaanku. Terkadang air matanya habis untuk sekedar menangisiku di kala aku pulang kerja agak telat. Rasanya aku tak ingin meninggalkannya lama-lama, apalagi disaat seperti ini.
            Kutarik nafas panjang-panjang, kembaliku melayang bersama kenangan yang terukir indah di jiwaku.
IV
            Santri terbaikku, Iman Kuncoro
            Abah menganggapmu seperti putra abah sendiri: kau selalu mengisi disetiap kehidupan abah, memahami abah, nurut sama abah. Oleh sebab itu semenjak kau meninggalkan tempat ini rasanya ada yang hilang dari diri abah. Abah dan ibu sering membicarakanmu dikala kita sedang kesepian: mengenang jasa-jasamu bahkan kenakalanmu.
            Man, pada waktu kau melanggar aturan Pondok: main kartu bersama teman-temanmu, kemudian abah memberi ta’ziran padamu, sebenarnya abah tidak marah padamu. Hanya saja abah tak ingin kau salah jalan, abah hanya meluruskanmu demi kebaikanmu pula. Kau pasti masih ingat bentuk hukuman yang abah berikan padamu. Eh, tepatnya kamu sendiri yang meminta:
            “ Apapun bentuk ta’zirannya, saya penuhi karena saya memang bersalah.”
            “ Kalau begitu kau minta hukuman apa?”
            “ Saya manut abah mawon.
            Kala itu abah menetapkan hukuman penggundulan padamu dan sebelas orang temanmu. Sebenarnya abah juga sempat senyum ketika melihat santri-santri abah dengan kepala botaknya. Sampai-sampai abah menggambarkan Pondok abah laksana Padepokan Sholin saja. Tapi, itu semua pembelajaran Man, supaya nantinya kau dan teman-temanmu tak terjerumus pada lubang yang sama.
            Satu lagi, ketika kau berlari ketahuan tak sekolah, kemudian abah mengejarmu. Kita kejar-kejaran waktu itu bak anak TK saja rasanya: kau lari ke arah kebun belakang, kau sembunyi di balik semak yang rumpun. Sebenarnya abah tahu kau sembunyi di situ: ngos-ngosan nafasmu terlalu kencang untuk tak didengar, namun abah membiarkanmu dengan harapan suatu saat kau akan mengerti betapa pentingnya mencari ilmu. Abah teramat percaya padamu: kau orang yang tangkas, pandai menafsirkan sesuatu dan yang jelas kau orang yang pandai memaknai hidup.
            Seperti kala itu, ketika namamu terpampang di media masa karena kau menjadi juara kepenulisan essai. Abah sangat kagum padamu: kau mampu memaknai sesuatu yang mungkin tak bisa dilakukan kebanyakan orang; menafsirkan kejadian-kejadian sejarah dengan versi yang menabjubkan. Abah tak mengira kau mempunyai talenta di bidang penulisan, yang jelas abah tak mampu lagi berkata kala itu karena abah teramat kagum: kau mengharumkan nama Pesantren ini, mengharumkan kota ini.
            Lebih mengejutkan lagi, ketika abah masuk kamarmu ketika kau sedang mengikuti sekolah sastra di Jogjakarta. Sebenarnya abah tak ada maksud untuk memasuki kamarmu, hanya saja waktu itu ada santri yang tak masuk sekolah dan abah berniat mencarinya ke kamar Pondok, sekalian abah masuk kekamarmu. Huh, alangkah terkejutnya abah ketika melihat kelender yang kau pampang di sisi kanan almarimu. Di situ tertulis agenda-agenda yang akan kau lalui: 24 Juli 2009, bedah cerpen Santriyu di salah satu perguruan tinggi di Kediri; 28 Juli 2009, tutor diklat jurnalis MA; 30-2 Juli- agustus 2009, kilatan sastra di Jombang kota, dan banyak agenda yang abah kurang begitu ingat. Abah menangis bangga kala itu, sembari berguman dalam hati:
            “ Kau benar-benar membuktikan kecakapanmu; mengukir kisah yang akan selulu dikenang dalam sejarah kehidupan ini.”
            Iman Kuncoro, santriku
            Kau sering menyebut Jombang kota para pelopor. Di mana banyak tokoh yang terlahir dari kota ini: asal, pendidikan, kiprah dan lain sebagainya. Abah masih ingat dengan cerpen yang kau karang yang termuat salah satu media masa nasional, kalau abah tak salah judulnya ‘Ku Buktikan Kekramatanku’. Abah akan mencoba menuliskan penggalan cerpen itu walau tak semahir dirimu:
Kini aku telah merdeka, telah berdiri dengan kakiku sendiri meski terseok. Setelah  berpuluh-puluh tahun ku merasa sakit tertembus timah panas, aku mencoba bertahan dengan seribu keinginan dalam jiwa ini. Aku telah merdeka: pancang beton telah banyak tumbuh dalam tubuhku, tunas muda mulai bercukulan mengisi alamku. Di ujung sana stasiun penghubung mulai terbangun megah, membuktikan betapa pesatnya perkembanganku. Lahan pendidikan juga mulai bermunculan: di sisi tengah tubuhku tumbuh pesantren yang teramat kokoh dengan tokoh yang amat tersohor tentunya. Siapa yang tak tahu mbah Hasyim guru tertua para ulama’, sapa yang berani menafikan mbah wahab: pemikir jenius dengan semangat perjuangan yang tak pernah putus dari jiwanya. Siapa yang tak kenal mbah Bisri, mbah Mustain Romli, cak Durasim dan banyak lagi yang lainnya. Kumunculkan mereka semua demi Bangsa ini; rakyat, umat dan makhluk yang hidup pada jiwaku.
Tak cukup di situ saja: aku juga mampu menumbuhkan pemikir muda yang siap merombak ketidakadilan Negeri ini, kusiapkan Wahid hasyim, Gus Dur, Emha Ainun Najib dan banyak lagi yang tak mungkin ku sebut satu persatu.
Aku telah merdeka, aku telah mampu mengatur jalan hidupku sendiri dan aku akan selalu membuktikan betapa keramatnya jiwaku.
Aku akan selalu menjadi gudang pencetus para pelopor dan pemikir muda dari tubuhku; akulah Jombang: kota keramat sepanjang masa.
            Iman santriku,
            Kau selalu bermimpi untuk jadi seorang penulis. Tapi sekarang kau tak lagi mimpi: engkau nyata menjadi seorang penulis, bahkan namamu telah melekat di hati para pengagummu. Kau buktikan kesungguhanmu pada abah dan kau adalah salah satu pelopor di Negeri ini.
            Kota ini makin pesat, para santri tak lagi ketinggalan zaman seperti kala dulu; banyak santri yang mengikuti jejak para pelopor: menjadi seorang penulis, agamawan, pemikir handal, penentang ketidakadilan. Semuanya terlahir dari sini; jombang: yang kau sebut kota para pelopor. (***)
Jombang, Nopember 2011


Penulis:  Mangun Kuncoro, Bengkulu Utara, 9 September 1989. seorang santri pondok pesantren al maliki Bahrul Ulum tambakberas jombang. Sekarang menjabat pimpinan redaksi majalah kampus “KAPAS“ kobaran api perjuangan mahasiswa STAI bahrul ulum ,penggiat komunitas pena KOMA Bahrul ulum, Tim motivator Penulis Bahrul Ulum. Hp 085733596819
            .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'