CINCIN PELANGI


            Coba bayangkan, seandainya pelangi di muka bumi ini selalu hadir menyapa kita. Apakah kita akan merasa bosan? Apakah kita akan selalu mencaci warna yang di bawa pelangi?
            Dan jika pelangi tak lagi ada dalam kehidupan kita, apakah hidup ini tak ada lagi warna? Akankah kita selalu memohon pada pelangi untuk mengobarkan warnanya sebentar saja untuk kita nikmati ?
            Simpan dulu jawaban kalian. Mari kita berpetualang bersama pelangi untuk menemukan jawaban atas pertayaan tadi.
            Pelangi, mencorong indah diatas bongkahan batu besar, sembari mengukir angan melambung ke alam mayapada.hidup dalam dunia khayal demi memuaskan keinginannya.
            “ Kamu sedih nak ?” tanya Ayah Pelangi menyandingi duduk di bongkahan batu besar itu.
 “ Sedih sedikit kok yah, tapi telah terobati.” Jawab Pelangi lirih.
 “ Kok masih kelihatan murung ?”
 “ Ya yah, tadi Pelangi melihat warna-warni nan indah mengelilingi mentari, eh Pelangi ingin berbaur dengan warnanya, malah keburu ilang.
“ Warna-warni mengelilingi mentari!” Tanya sang ayah seakan menyembunyikan sesuatu.
 “ Iya yah, indah lho yah, emangnya kenapa yah kok tanyanya dengan nada sengau gitu?”
 “ Tak apa nak, bukan apa-apa.” Jawab pendek sang ayah.
***
            IR. Suwiryo, Presiden Negara yang teramat karismatik. Jiwa kepemimpinannya mampu mengatur seluruh jalannya sistem pemerintahan.
            Tapi teramat disayangkan Presiden berwibawa sekaligus ayah Pelangi itu terlalu cepat di panggil. Seminggu yang lalu, Negeri damai itu dirundung duka atas kepergian pemimpin tercintanya. Sorakan tangis berirama do’a terlontar dari setiap mulut warga, terlebih keluarga.
            Suasana pemakaman seminggu yang lalu kini masih menyisakan sedikit bayang-bayang. Terlihat jelas sisa-sisa kepiluan di area pemakaman, harumnya bunga-bunga yang belum mengering menambah kedukaan semakin dalam, tetesan berjuta air mata dari setiap peziarah mengukir melukis duka terdalamnya pada setiap tanah pemakaman itu.
            Kini semua tinggal kenangan. Nama indah yang terukir pada batu nisan itu, sebagai bukti atas jasa-jasa beliau. Tak ada lagi yang dapat dilakukan oleh setiap warga sebagai penghormatan, melainkan do’a yang selalu terpanjat untuk kebahagiaan di alam selanjutnya.
***
            Mentari semakin condong, menyisakan warna jingga di langit-langit ufuk barat. Sementara Pelangi masih mendongok terpaku menatap langit sore. Seminggu yang lalu Pelangi masih duduk bersanding dengan ayahnya di bongkahan batu besar itu, tapi kini semuanya tinggal kenangan.
            Sesekali tersenyum kecil sembari mengukir sebuah nama pada langit. Sesaat kemudian, murung meneteskan air mata, mencoret-coret nama pada langit bengis. Bersamaan tetes air mata Pelangi, langit pun ikut andil dalam kesedihan, rintik hujan yang tak begitu mengerap, perlahan jatuh menghujam bumi, menerpa dedaunan. Nampak bak embun suci pagi hari.
            Namun Pelangi tak bergeser sedikitpun dari bongkahan batu besar itu. Pelangi justru mendongok bengis meniti rintik menerpa dahi, membiarkanya menyatu berbaur dengan air matanya. Membuat kilauan bak pasir putih pinggiran samudra.
            “ Indahnya warna-warni itu.” Ungkap Pelangi pelan. Semakin jauh Pelangi menatap warna-warni itu. Walau tak melingelilingi mentari seperti yang di lihatnya bersama ayahnya seminggu yang lalu namun memiliki warna yang sama.
            Pelangi pun terbuai, seakan menemukan ketenangan jiwannya. Masuk dalam merahnya penuh keberanian, meloncat dalam hijaunya kedamaian, seakan hidup Pelangi dipenuhi dengan warna. Membuat hatinya yang kusut perlahan berbinar menata cahaya.
            Denting waktu yang terus bergulir, perputaran bumi yang tak mungkin dihentikan menjadikan warna-warni indah itu menjadi kelam. Merahnya keberanian berangsur memutih dan mengelam, begitu pula warna-warna yang lainnya perlahan memudar berganti warna yang amat kelam.
            Pelangi tak lagi menjumpai warna itu, sesaat ia menatap keindahan, kini ia hanya mampu berbolak-balik mencari merahnya keberanian, melompat mencari hijaunya kedamaian. Tapi teramat disayangkan, warna itu taklagi menyala, seluruhnya terlihat kelam sekelam hati Pelangi kini.
            “ Pelangi tak usahlah larut dengan kesedihan sayang. ungkap Bunda menghapiri. Namun Pelangi tak menghiraukan bahkan tak beringsut sedikitpun dari bongkahan batu besar itu.
            Keduanya pun duduk berdampingan. Bunda mengelus indah rambut lurus putri tunggalnya itu. Sementara Pelangi lebih memilih menopangkan kepalanya pada kedua lengannya yang di satukan.
            “ Pelangi tengoklah bunda sayang, dengarkan bunda sayang,” Ucap bunda kembali menabahkan. “ bunda juga terpukul sayang. Pelangi masih ingat nggak kata-kata ayah, ayah pernah bilang pada kita bahwa tak ada mantan anak itu, tapi ayah akan jauh lebih berhasil ketika mampu menjadikan kita jauh lebih hebat dari ayah. Masih ingatkan, ayah bukan sosok yang mudah jatuh lho sayang.
            Perlahan Pelangi mengangkat muka yang dibekuknya. Menatap mata bundanya penuh dengan harapan hidup.
 “ Ya bun, Pelangi ingat. Sembari menganggukkan kepalanya.
“ Songsonglah kehidupan ini sayang.
“ Ayah akan selalu bersama kita kan bun ?” Potong Pelangi.
 “ Ya sayang.” Jawab bunda sembari mengelus dahi Pelangi.
***
            Waktu kini melesit dengan kecepatan teringgi . Pelangi pun tumbuh, dengan sebekal kata indah sang ayah menjadikannya terus mengukir kehidupan. Pelangi selalu berusaha untuk jadi yang terbaik, selalu berusaha untuk menjadi yang lebih baik dari sang ayah. Karna hanya itu yang bisa membuat ayahnya bangga pada dirinya.
            Kini ia meniru jejak ayahnya. Atas restu bunda yang kini telah meninggalkannya juga, Pelangi bertekad untuk jadi pemimpin seperti ayahnya dulu. Belajar dari ketekunan ayahnya, Pelangi mulai menggapai mimpinya.
            Di selah kesibukan Pelangi. Ia tak pernah melupakan kesibukan lamanya. Setiap kali rintik hujan jatuh menerpa bumi, Pelangi selalu berdiri mendongok di atas bongkahan batu besar samping rumahnya.
            Menanti warna-warni indah yang mengelilingi mentari, tapi semenjak kala itu Pelangi tak lagi melihat yang seperti dulu. Warna yang mengelilingi mentari, tapi hanya coretan yang berwarna sama. Meski seperti itu Pelangi masih dapat berbaur dengan merahnya keberanian, kemudian meloncat pada hijaunya kedamaian, serta warna-warna lainnya. Seakan Pelangi menumukan ketenangan jiwa, senyum indah ayah bunda yang tak pernah meninggalkannya.
            Seperti biasanya, sesaat kemudian Pelangi kehilangan warna-warna indah itu, semuannya terlihat kelam. Senyum ayah bunda tak lagi ia temukan. Pelangi clingak-clinguk untuk sekedar mencari warna itu. Tapi apa mau di kata semuanya tak dapat ia temukan. Wajah yang ceria itu mendadak menunduk dengan sejuta kebingungan, tapi Pelangi tak lagi larut dengan kesedihan. Baginya terus berjuang adalah impiannya. Dan ia selalu yakin esok ia akan menjumpai warna dan senyuman itu lagi.
***
            Kini puncak cita Pelangi terkabulkan, hasil pemilu raya dimenangkan mutlak atas nama Pelangi. Kini pelangi bisa membuktikan pada ayahya bahwa ayah benar-benar berhasil.
            Rona kemenangan dirasakan oleh Pelangi dan pengikutnya. Tasyakuran pun di gelar dengan do’a-do’a yang dipanjatkan di rumah Pelangi.
            Seperti biasa, di bongkahan batu besar itu Pelangi berdiri menanti warna itu, warna yang mengelilingi mentari atau setidaknya coretan warna yang menyerupai, tapi sayang warna itu tak muncul hingga gelap menyelimuti. Pelangi hanya bisa terdiam, maksud ingin menyampaikan kemenangan pada ayah bunda namun sia-sia.
            “ Bu Pelangi, tamu-tamu sudah menunggu.” Sapa salah satu ajudan.
“ Ya pak saya menyusul”. Pelangi pun beranjak dari bongkahan batu besar itu.
            “ Bu Pelangi besok ada upacara pelantikan, ibu sudah siap.” Tanya ajudan.
“ Ya pak saya sudah siap. Mari kita rayakan kemenangan kita.” Ungkap Pelangi menyimpan kegundahan hati.
            Ini hari pelantikan, dimana awal Pelangi menyandang status Ibu Negara yang mempunyai karismatik seperti ayahnya 30 tahun silam. Sungguh tak terduga, tapi ini sebuah pembuktian atas semangat Pelangi.
            Sambutan pertama Pelangi sedang berlangsung, seluruh pembesar negara khidmad mendengarkannya. Tiba-tiba rintik menerpa bumi. Langit kembali berpihak baik. Warna yang mengelilingi mentari itu muncul menyapa Pelangi, Pelangi pun menghentikan sambutannya untuk sekedar memandang.
            Bersamaan itu pula, terjadi ledakan teramat dasyat di lokasi pelantikan. Semuanya porak-poranda. Pelangi pun ikut tersungkur, namun Pelangi tetap memandang indahnya warna yang mengelilingi mentari itu. Tubuh Pelangi terasa ringan, masuk dalam indahnya merah penuh keberanian, melompat pada hijaunya kedamaian. Pelangi benar-benar bermain dengan warna. Sosok ayah bunda juga ia temukan.
            “ Ayah bunda, benarkah itu kalian.” Sapa Pelangi lirih.
 “ Ya nak ini ayah bunda.
“ Kita berada pada warna yang pernah ku ceritakan pada ayah dulu, yah!”
 “ Ya nak, inilah yang dinamakan cincin pelangi. Yang akan muncul sebelum  orang besar di negrimu pergi ke kehidupan yang selanjutnya.” Jelas ayah. Sementara Pelangi tak dapat berfikir lebih untuk itu. Ia hanya mampu berbolak-balik bermain dengan indahnya warna.
            Sementara di bawah sana, tim penyelamat datang mengamankan dan mengefakusi korban ledakan itu. Dijumpainya sosok Ibu Negara tergeletak tak bernyawa di atas Podium. ( Mangun Kuncoro )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'