Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Sebuah bukti nyata yang dapat kita rasakan di Bumi Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, keikut sertaan para Santri semakin kita rasakan dalam dunia Kesusastraan Indonesia. Berawal dari “Kegundahan Dalam Pesantren” memacu kinerja sahabat-sahabat Komunitas Pena yang digawangi sahabat Fahmi dan kawan-kawannya untuk menggali potensi penulisan dalam Pesantren.
Kini, terjawab sudah. Satu persatu penulis dari pesantren mulai bermunculan. Hal ini dapat kita tandai dengan terselengarannya Lesehan Sastra #1 yang menampilkan :
-          Bedah Cerpen :
Cintaku di Chiemistry karya Risyalah Dewandini.
Kasihku Berlabuh di Kertas Biru karya Atiqotul Maula.
Remo Karya Sabrang Suparno.
-          Bedah Puisi :
Bahrul Ulum karya Ibnu Taufiq
                Cintaku di Chiemistry : Mengambarkan sebuah kisah cinta yang berawal dari kesukaannya pada pelajaran Kimia. Kenza begitulah tokoh utama yang menemukan cintanya dengan Yudha. Mungkin sepenggal itu telah mewakili isi dari keseluruhan cerpen Cintaku di Chiesmistry.
                Cerpen ini disambut menakjubkan oleh peserta yang hadir, terlebih mas Yus ( Penulis dari Rejoso ) Menambahkan bahwa: cerpen yang dikarang Risya ( begitu biasa dipanggil ) telah menemukan bentuknya, di mana Risya telah mempu membuat penokohan yang sangat kuat dengan penggambaran latar yang dapat dirasakan oleh pembacanya. Lain halnya dengan komentar Mangun Kuncoro ( Penulis pemula jebolan KOMA ) menuturkan : Masih banyaknya kesalahan kecil yang harus lebih diperhatikan lagi, seperti : penggunaan kata depan dan akhiran yang kurang pas; kata yang tidak disesuaikan dengan EYD. Mangun menyayangkan cerpen yang sebagus dan semenakjubkan ini harus terbentur dengan tatanan EYD.
                Kasihku Berlabuh di Kertas Biru : menceritakan seorang tokoh yang mempunyai keinginan kuat untuk menulis namun ia harus dihadapkan dengan ketidakmahirannya dalam kegiatan menulis. Akhirnya ia memaksakan untuk mulai menulis. Setelah tulisan itu jadi, ia tak menjumpai kebahagiannya juga: teman-temanya meledek habis-habisan tulisan pertamanya itu, hingga ia merasa ciut hati untuk kembali menulis. Pada endingnya tulisan pertama sekaligus ungkapan cintanya pada seorang Gus itu akhirnya menuai hasil. Tulisan perdana sekaligus ungkapan hatinya itu tersampaikan kepada Gus Aim Elansyah berkat bantuan temannya yang bernama Syaina. Telebih tulisan itu ditawakan oleh Gus Aim pada sebuah penerbit. Akhirnya terjawab sudah keinginan tokoh untuk menjadi seorang penulis.
                Cerpen ini nyaris hampir tak ada yang mencela. Kemahiran Atiqo mampu membungkam seluruh peserta, ditambah dengan pembacaan yang khas dari penulis. Hanya saja mas Hadi ( Penulis Sanggar Sinau ) menambahkan: harus adanya penggunaan bahasa yang lebih kuat, bukan halnya bahasa penulisan status dalam Fecebook atau  SMS.
                Beralih kepada cerpen Remo : Kecanggihan Sabrang Suparno (Penulis Rutinan Padang Bulan Cak Nun) ini, mampu : mengankat khazanah-khazanah lokal Jombang. Mengangkat tokoh Winarsih seorang penari Remo mempunyai ketenaran yang harus dihadapkan pada larangan menikah. karena akan berdampak pada ketenarannya sebagai seorang peremo. Namun pada akhirnya Sukirno, seorang yang berbegron Religus meminta Winarsih untuk menikah dengannya. Winarsihpun luluh hatinya, rasa cintanya pada Sukirno memaksa dirinya untuk mengakhiri ritualnya itu dengan konsekuensi ketenarannya akan luntur.
                Bang Somad ( Penulis Malam Pituan KOMA ) : bertanya-tanya tentang kemahiran seorang Sabrang yang mampu membuat cerpen lokalitas yang mampu menggabungkan antara kepercayan ke-Jawen dengan budaya Islam. Mas Sabrang pun hanya tersenyum mendapat pertanyaan itu, mungkin inilah wanrna lokalitas Jombang yang identik dengan “IJO” dan “ABANG”.
                Satu puisi yang tak kalah indah juga dibedah di sini. “BAHRUL ULUM” begitulah judul puisi karya Ibnu Taufiq.  Puisi yang benar-benar menguras seluruh fikiran jika menafsirkan isinya. Begitu mendalam pesan yang disampaikan penulis dalam puisinya tersebut. Hingga, Fatkhur Rahman Karyadi ( Penulis sekaligus anggota Penerbit Majalah Tebuireng ) mengkiaskan: “Sebuah bus ketika mau berbelok kekiri atau kekanan itu yang tahu hanya sopir dan Tuhan saja, lain dengan Puisi yang tahu maksud sesungguhnya hanyalah penulis bahkan Tuhan saja tak mengerti” ungkapnya. Dian DJ ( Penulis Muda KOMA ) berpendapat : Alangkah indah lagi jika puisi Ibnu Iqbal ditambah dengan polesan kata-kata; diksi-diksi yang lebih, menurutnya bahasa yang digunakan dalam puisi tersebut masih terlihat datar.
                Pada akhir acara, KOMA menyatakan kegelisahanya tentang isu akan ditutupnya PDS (Perpustakaan Dokumentasi Sastra) H.B Jassin karena menurunnya dana perawatan PDS dari Pemerintah. Dengan Program “ KOIN SASTRA untuk PDS H.B Jassin “ yang dilounchingkan di akhir acara dan akan berlangsung beberapa minggu kedepan di area Pondok Pesantren Bahrul Ulum, sebagai Wujud kepedulian Santri terhadap peran Sastra di Indonesia. ( Mangun Kuncoro )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'