Lebaranku Antara Jawa-Sumatra

              Magrib ini akan menjadi pamungkas dari segala cerita: indahnya bulan yang suci, menyimpan berjuta berkah, melipat gandakan segala tingkah dan perbuatan. Perlahan akan berlalu. Tinggal menunggu detik aja selepas magrib; pengumuman dari Menteri Agama, semuanya akan tergantikan sorakan kemenangan.
                Ada yang beda memang. Jika sewaktu kecilku dulu, hari kemenangan telah disambut ba’da adzan maghrib. Sekarang tak lagi begitu. Cecok tentang penentuan hari kemenagan menjadi warna di negeriku. Ada yang duluan, ada yang terakhir atau apalah. Aku juga tak terlalu banyak mengerti tentang itu. Mana yang benar dan yang salahpun masih  samar. Tapi biarlah keyakinan masing-masing kita yang membenarkan. Karena hanya itu jawaban tertinggi. Keyakinan.
<a href="signin.php" rel="nofollow">sign in</a>
                “ Allahu Akbar....Allahu Akbar...Allahu Akbar...” hu, suara ustad Faqih mulai berkumandang. Dari ketinggian menara masjid Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas. Penentu bagi kami; santri dan masyarakat sekitar pesantren. Jika ustad Faqih telah berkumandang berarti pemerintah telah mengambil keputusan malam ini. Kemudian disusullah alunan pemujaan dari mushola dan masjid sekitar. Riuh terdengarnnya. Lantunan takbir yang nyaring. Menggugah jiwa, merekahkan bibir untuk mengikuti pujian terindah sepanjang masa itu.
                “ Allahu Akbar...” bibirku pun mulai melafalkan pujian itu. Terduduk manis di sudut kamar pondokku. Menjepit sebatang rokok yang terselip diantara jari tengah-telunjuk. Membumbungkan segala riuh di jiwaku pulah. Ah, rasanya buru kemarin aku menjalankan puasa. Tak terasa satu bulan terlalui, Alhamdulillah Ya Robb. nikmatMu teramat besar untuk sekedar kupungkiri.
***
                “ Andi, ayo berangket. Teman-teman la nunggu galo.”
                “ Iyo, ..kelak dulu.”
                “ Ah lamo nian.”
                “ Bapak, Andi berangkek takbir keliling kek temen-teman.” Ku sabet obor minyak tanah yang telah kupersiapkan sejak siang tadi. Berlari tanpa perlu mendengar jawaban bapak.” Ayolah.” Ajakku beralih.
                Ini surau kami. Jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Disini biasanya kami ngaji TPA bersama ustad Umar. Bermain bersama teman-teman mengahabiskan sore. Surau ini telah mengukir beribu kisah tentangku: susahnya belajar alif, ba’ hingga iseng jail teman-teman mengejekku dengan seorang gadis seberang rumah. Apalagi bulan ramadhan: hapir satu hari penuh aku dan teman-temanku berada di surau. Serunya pesantren kilat yang dibimbing ustad Umar mengajari betapa indahnya bulan penuh berkah itu.
                Dan malam ini. Surau ini akan menjadi saksi kembali dalam kisahku. Malam ini awal kali aku mengakhiri puasaku sebulan penuh. Tanpa cacat sedikitpun. Dan inilah awal aku mendendangkan takbir kemenangan yang sesungguhnya. Hah, kisah ini takkan pernah terlupakan olehku. Kisah dimana aku mulai mengerti menyambut hari kemenangan. Kisah yang bukan hanya sebuah tradisi tahunan yang tak berkesan. Namun, sesungguhnya nikmat Allah karena telah melakukan perintahnya dengan segala kerendahan hati.
                “ Allahu Akbar... Allahu Akbar...Allahhu akbar...” Di perempatan jalan penghubung kampungku terdengar gemuruh pujian itu. Suara bersahutan memecah keheningan malam. Menuntun penghuni langit untuk ikut tertatih melafalkan. Lagit seakan menghilangkan kengeriannya, awan hitam menggumpal tak tampak sedikitpun.
                Itu mungkin gerombolan Roni, TPA kampung sebelah, temanku SD pula. Ternyata mereka dah mulai keliling. Wah seru nampaknya.
                “ Ustad Umar, ayo berangkek. TPA kampung sebelah la terdengar tu.”
                “ Iyo, galonyo baris yang rapi, idak boleh nakal, idak boleh belogo. Yok. Kito sambut kemenangan, Allahu Akbar...” ustad Umar nampak bersemangat. Hem, ustad Umarkan juga mesih muda. Berisitripun belum.
                Malam semakin larut, lantunan takbir semakin memecah keheningan. Aku bertemu gerombolan Roni, dan kamipun berpadu setalah sampai di penghujung jalan kampung. Tak ada secuilpun rasa gundah di raut kami. Rebana, beduk, sulut obor, mewarnai kegembiraan. Sumuannya nampak girang malah. Huh, sungguh indah suasana malam ini. Mungkin berto-ton emaspun tak mampu menebusnya.
***
                Subuh menyambut, denting takbir turus berkumandang semalaman. Toa masjid kampungku semakin memekik. Mengundang jama’ah menyempurnakan kemenangan. Akupun segera beringsut perlahan kekamar mandi kemudian berbondong-bondong pergi kemasjid. Hem, pagi yang sempurna. Tak seorangpun tak pergi kemasjid. Dengan balutan pakaian terindah, aku menyambut kemenangan ini.
                Tradisi di kampungku, setelah shalat idul fitri. Makan-makan bersama di masjid. Semakin memeriahkan suasanan kemenangan. Aku tak sanggup lagi membayangkan betapa indah dan sempurnanya hari ini. Berkesan.
                 Suasana haru nan bangga tercurah di keluargaku. Keluarga sederhana yang jauh dari kemewahan. Namun, hari ini terasa bahagia kurasa. Sumuannya berkumpul di rumah. ayuku yang sekolah di kota juga pulang. Jarang sekali ayuk pulang, tapi saat ini ayuk ada diantaraku. Abangku juga pulang,menambah lengkap suasana keluargaku. Damai.
                Meski suasana ini hanya setahun sekali. Tapi, aku merasakan keindahan ini benar-benar abadi. Kita jarang kumpul lengakap seperti ini. Kadang ayuk pulang abang tak pulang, begitu sebaliknya. Tapi jika lebaran tiba semuannya akan menjadi satu. Berbalut kebahagiaan di antara kami; aku dan keluarga sederhanaku. Ini, hal yang begitu mengesankan. benar-benar merasakan keutuhan cinta dari orang-orang yang kusayang dan arti sebuah airmata terindah.
                Suasana haru ini semakin bertambah, tatkala aku dan keluargaku salin maaf-maafan. Dimulai dari kakak tertuaku kemudian disusul adik-adiknya. Tak terasa perlahan arimata jatuh membasahi seluruh pipi ini. Bibirku pun tertatih memohon maaf bapak, mamak, ayuk, abang. Indahnya mengecup tangan beliau bagai tak ada bandingan di dunia ini. Seberkas do’a dan maaf beliau semakin deras airmata ini mengalir.
 Umurku 7 tahun, dan disinilah aku mulai mengerti tentang kehidupan; Dimana aku mengerti arti sebuah memaafkan. Hari ini, hari dimana aku bisa memaknai sebuah kemenangan. Kemenangan yang sungguh didapat dari sebuah usaha. Senyumpun terlepas dariku. Maafanpun ku lanjut ketetangga kampung. Bersama teman-temanku. Ah, tawa banggapun mengiringi langkahku.
***
                “ Allahu Akbar....Allahu Akbar...Allahu Akbar...” Tertatih aku masih ikut melafalkan itu.
                “ He, Nangis og.” Suara Gus Shovi membuyarkan lamunanku. Gus Shovi putra abah di pondoku. Biasanya kalau habis buka dia naik kekamar. Mau rokokan. Akupun buru-buru menghapus air mata. Tak terasa rokok yang kusilipkan antara jari telunjuk-tengah membakar kulitku.
                “ Mboten, sopo nangis.” Elakku pada Gus Shovi.
                “ La iku, kangen omah yo.” Desak Gus Shovi memastikan. “ Sabar ya.” Lanjutnya.
                “ Mboten biasa mawon Gus.” Masih ku tutupi kesedihan ini. “ Niki Gus rokoknya.” Aku mengalihkan perhatiannya. Ya malu lah, masak kelihatan sedih. Diambilnya sebatang kemudian turun lagi. Mungkin Gus Shovi sengaja meninggalkanku. Aku faham sifatnya. Tak mau ikut campur urusan orang. Paling ya ngledekin dikit.
             :   “ Ndik, engko nek takbiran paranono aku nag kamar.” Teriak Gus Shovi dari arah tangga.
                “ Siap bos.” Balasku teriak.
                Kembali ku sulut rokok yang tingal satu-satunya. Kuresapi bunyi takbir yang semakin berkumandang. Riuh alam memuja, taluan beduk-beduk besar. Suara motor di jalan depan pondok semakin meraung. Lantang tawa mulut-mulut menyabut kemenangan semakin membuat hatiku pecah entah kemana. Aku rindu bapak, mamak, ayuk, abang dan keluarga-keluarga kecil mereka. Melayangku antara Jawa-sumatra. Terasa dekat. Sedekat hatiku dengan mereka.
                Kamar ini semakin sunyi, menyisakan aku, air mata dan sebatang rokokku. Sejak tadi hand phoneku berbunyi, setiap detiknnya. Yah, jaman sekarang urusan minta maaf bisa dilakukan dengan apa saja: telpon, SMS, atau apalah. Mengurai kata-kata yang paling inidah. Berbincang semanis mungkin.
Namun, indahnya sungkem mengecup tangan. Berpelukan rindu nan hangat. Takkan pernah bisa diwakili media apapun. Maafkan aku: bapak, mamak, ayuk, abang. Ini lebaran kesekian kalinya tak sungkem pada kalian.  Pelikku. (Mangun Kuncoro)
Jombang,  Agustus/ Syawal 2012
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lesehan Sastra #1 Komunitas Pena ( KOMA ) Bahrul Ulum ( Jombang, 15 April 2010 )

Novel 'Sepasang Sayap di Punggungmu'